Wisata Religi Makam Sunan Ampel Denta di Surabaya – Sahabat Travellers pada kesempatan kali ini
BerakhirPekan akan berbagi artikel mengenai Makam atau Kuburan salah satu
walisongo atau 9 wali penyebar Islam di Pulau Jawa, ya salah satunya yang
dimakamkan di Kota Surabaya yaitu Sunan Ampel atau Raden Rahmat. Sunan Ampel
ketika di waktu kecilnya diberi Sayyid Muhammad ‘Ali Rahmatullah, sesudah
pindah ke Jawa Timur diberi panggilan oleh masyarakat dengan panggilan Raden
Rahmat atau Sunan Ampel. lahir di tahun 1401 Masehi di “Champa”. Terdapat 2
pendapat terkait lokasi Champa ini. menurut Encyclopedia Van Nederlandesh Indie
menerangkan kalau Champa merupakan satu negeri kecil yang lokasinya di
“Kamboja”. Menurut Pendapat lain, “Raffles” mengatakan bahwa Champa berada di
“Aceh” yang saat sekarang dinamakan “Jeumpa”. Asal muasal pemberian nama Ampel
sendiri, disangkut pautkan dengan nama tempat yang mana dia dalam waktu lama
bermukim Di sebuah daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang saat sekarang
sudah termasuk dari bagian kota Surabaya tepatnya di daerah Wonokromo. Sunan
Ampel bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad
Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin
Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin
Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin
Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin
Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.
Sunan Ampel lebih menggunakan pendekatan intelektual dengan
memberikan pemahaman tentang Islam melalui wacana intelektual dan diskusi yang
cerdas dan kritis serta dapat dinalar oleh akal. Cerita di atas adalah bukti
sejarahnya.
Dialog Sunan Ampel-biksu telah mengingatkan kita kepada jawaban Nabi Ibrahim as. yang dilontarkan kepada raja Namrud ketika beliau dituduh menghancurkan tuhan-tuhan mereka. Saat itu Nabi Ibrahim berkata “Bahwa, Tuhan yang paling besar inilah yang melakukannya”. Bedanya, Namrud tidak pernah mau menerima kebenaran itu meski dia mengetahuinya. Kemudian kita bertanya, mungkinkah orang sekelas biksu dapat ditaklukkan hanya dengan melalui pendekatan budaya? Bisa jadi, tapi mungkin sulit. Urgensitas budaya sebagai media dakwah alternatif memang tak bisa dibantah. Sejarah juga membuktikan bahwa pendekatan kultur-budaya yang dimainkan oleh Sunan Kalijaga berhasil dengan sangat gemilang. Tapi, sejatinya, pendekatan kultur-budaya hanya relevan untuk komunitas masyarakat kelas menengah ke bawah. Sedangkan untuk obyek intelektual kelas atas mungkin sangat pas bila menggunakan jalur seperti yang ditempuh Sunan Ampel. Hasil dari dua metodologi yang dipakainya adalah beliau telah berhasil menciptakan harmoni antara ulama dan umara, antara akar rumput dan kalangan pemerintahan. Walaupun masih terdapat sekat-sekat tertentu antara masyarakat atas dan bawah. Hal itu bisa tercapai karena beliau merupakan da’i yang mempertaruhkan hidupnya untuk berdakwah dan mengayomi umat. Juga tetap indipenden dan konsisten dengan posisinya sebagai ulama. Beliau tidak pernah dan memang tidak sudi menggunakan alat kekuasaan sebagai kendaraan dakwahnya. Maka tidak berlebihan jika beliau mendapat prototype sebagai wali sejati, wali dalam pengertian “kekasih Allah” di dunia. Bukan wali dengan arti penguasa setempat sebagaimana mispersepsi sebagian pemerhati sejarah yang mungkin juga tidak mengakui adanya wali Allah yang lain. Karena kalau kita merunut sejarah, maka akan menghasilkan sebuah hipotesa sebagaimana di atas. Terbukti, beliau, sekali lagi, tidak mau menggunakan kendaraan kekuasaan sebagai piranti memuluskan dakwahnya. Sunan Ampel Wafat di Surabaya, tahun 1425 M. Makamnya terletak di daerah Ampel Denta, Kota Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.
Dialog Sunan Ampel-biksu telah mengingatkan kita kepada jawaban Nabi Ibrahim as. yang dilontarkan kepada raja Namrud ketika beliau dituduh menghancurkan tuhan-tuhan mereka. Saat itu Nabi Ibrahim berkata “Bahwa, Tuhan yang paling besar inilah yang melakukannya”. Bedanya, Namrud tidak pernah mau menerima kebenaran itu meski dia mengetahuinya. Kemudian kita bertanya, mungkinkah orang sekelas biksu dapat ditaklukkan hanya dengan melalui pendekatan budaya? Bisa jadi, tapi mungkin sulit. Urgensitas budaya sebagai media dakwah alternatif memang tak bisa dibantah. Sejarah juga membuktikan bahwa pendekatan kultur-budaya yang dimainkan oleh Sunan Kalijaga berhasil dengan sangat gemilang. Tapi, sejatinya, pendekatan kultur-budaya hanya relevan untuk komunitas masyarakat kelas menengah ke bawah. Sedangkan untuk obyek intelektual kelas atas mungkin sangat pas bila menggunakan jalur seperti yang ditempuh Sunan Ampel. Hasil dari dua metodologi yang dipakainya adalah beliau telah berhasil menciptakan harmoni antara ulama dan umara, antara akar rumput dan kalangan pemerintahan. Walaupun masih terdapat sekat-sekat tertentu antara masyarakat atas dan bawah. Hal itu bisa tercapai karena beliau merupakan da’i yang mempertaruhkan hidupnya untuk berdakwah dan mengayomi umat. Juga tetap indipenden dan konsisten dengan posisinya sebagai ulama. Beliau tidak pernah dan memang tidak sudi menggunakan alat kekuasaan sebagai kendaraan dakwahnya. Maka tidak berlebihan jika beliau mendapat prototype sebagai wali sejati, wali dalam pengertian “kekasih Allah” di dunia. Bukan wali dengan arti penguasa setempat sebagaimana mispersepsi sebagian pemerhati sejarah yang mungkin juga tidak mengakui adanya wali Allah yang lain. Karena kalau kita merunut sejarah, maka akan menghasilkan sebuah hipotesa sebagaimana di atas. Terbukti, beliau, sekali lagi, tidak mau menggunakan kendaraan kekuasaan sebagai piranti memuluskan dakwahnya. Sunan Ampel Wafat di Surabaya, tahun 1425 M. Makamnya terletak di daerah Ampel Denta, Kota Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.
Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan berangkatlah
rombongan Raden Rahmat ke sebuah daerah di Surabaya yang kemudian disebut
dengan Ampeldenta. Rombongan itu melalui desa Krian, Wonokromo terus memasuki
Kembangkuning. Selama dalam perjalanan beliau juga berdakwah kepada penduduk
setempat yang dilaluinya. Dakwah yang pertama kali dilakukannya cukup unik.
Beliau membuat kerajinan berbentuk kipas yang terbuat dari akar tumbuh-tumbuhan
tertentu dan anyaman rotan. Kipas-kipas ini dibagikan kepada penduduk setempat
secara gratis. Para penduduk hanya cukup menukarkannya dengan kalimah syahadat.
Penduduk yang menerima kipas itu merasa sangat senang. Terlebih setelah mereka
mengetahui kipas itu bukan sembarang kipas, akar yang dianyam bersama rotan itu
ternyata berdaya penyembuh bagi mereka yang terkena penyakit batuk dan demam.
Dengan cara itu semakin banyak orang yang berdatangan kepada Raden Rahmat. Pada
saat demikianlah ia memperkenalkan keindahan agama Islam sesuai tingkat
pemahaman mereka/ Cara itu terus dilakukan sehingga rombongan memasuki desa
kembang kuning. Pada saat itu kawasan desa kembang kuning belum seluas sekarang
ini. Disana sini masih banyak hutan dan digenangi air atau rawa-rawa. Dengan
karomahnya Raden Rahmat bersama rombongan membuka hutan dan mendirikan tempat
sembahyang sederhana atau langgar. Tempat sembahyang itu sekarang dirubah
menjadi mesjid yang cukup besar dan bagus dinamakan sesuai dengan nama Raden
Rahmat yaitu Mesjid Rahmat Kembang Kuning.
Ditempat itu pula Raden Rahmat bertemu dan berkenalan dengan
dua tokoh masyarakat yaitu Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning. Kedua tokoh
masyarakat itu bersama keluarganya masuk Islam dan menjadi pengikut Raden
Rahmat. Dengan adanya kedua tokoh masyarakat itu maka semakin mudah bagi Raden
Rahmat untuk mengadakan pendekatan kepada masyarakat sekitarnya. Terutama
kepada masyarakat yang masih memegang teguh adat kepercayaan lama. Beliau tidak
langsung melarang mereka, melainkan memberikan pengertian sedikit demi sedikit
tentang pentingnya ajaran ketauhidan. Jika mereka sudah mengenal tauhid atau
keimanan kepada Tuhan Pencipta Alam, maka secara otomatis mereka akan
meninggalkan sendiri kepecayaan lama yang bertentangan dengan ajaran Islam. Setelah
sampai ditempat tujuan, pertama kali yang dilakukannya adalah membangun mesjid
sebagai pusat kegiatan ibadah. Ini meneladani apa yang dilakukan Nabi Muhammad
SAW saat pertama kali sampai di Madinah.
Dan karena menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa
daerah tersebut maka kemudian beliau dikenal sebagai Sunan Ampel. Sunan berasal
dari kata Susuhunan yang artinya yang dijunjung tinggi atau panutan masyarakat
setempat. Ada juga yang mengatakan Sunan berasal dari kata Suhu Nan artinya
Guru Besar atau orang yang berilmu tinggi. Selanjutnya beliau mendirikan
pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran Majapahit serta siapa
saja yang mau datang berguru kepada beliau.
Hasil didikan mereka yang terkenal adalah falsafah Moh Limo
atau tidak mau melakukan lima hal tercela yaitu :
- Moh Main atau tidak mau berjudi
- Moh Ngombe atau tidak mau minum arak atau bermabuk-mabukan
- Moh Maling atau tidak mau mencuri
- Moh Madat atau tidak mau mengisap candu, ganja dan lain-lain.
- Moh Madon atau tidak mau berzinah/main perempuan yang bukan isterinya.
Prabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden
Rahmat. Raja menganggap agama Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia,
maka ketika Raden Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama Islam maka
Prabu Brawijaya tidak marah, hanya saja ketika dia diajak untuk memeluk agama
Islam ia tidak mau. Ia ingin menjadi raja Budha yang terakhir di Majapahit. Raden
Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan
diseluruh wilayah Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh dipaksa,
Raden Rahmat pun memberi penjelasan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.
Alamat Makam Sunan
Ampel
- Jl. Petukangan I, Ampel, Semampir, Kota SBY, Jawa Timur 60151
Demikianlah artikel mengenai Wisata Religi Makam Sunan Ampel Denta di Surabaya semoga artikel ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi kita semua.[bp]
Ikuti Kami di: