Sejarah Taman Sari Tempat Santai Sultan Jogja - Pesanggrahan Taman Sari dibangun setelah Perjanjian Giyanti (1755), yakni setelah Sultan Ha...
Sejarah Taman Sari Tempat Santai Sultan Jogja - Pesanggrahan
Taman Sari dibangun setelah Perjanjian Giyanti (1755), yakni setelah Sultan
Hamengku Buwono sekian lama terlibat dalam persengketaan dan peperangan.
Bangunan tersebut dimaksudkan sebagai bangunan yang dapat dipergunakan untuk
menenteramkan hati, istirahat, dan berekreasi. Meskipun demikian, Taman Sari
ini juga dipersiapkan sebagai sarana/ benteng untuk menghadapi situasi bahaya.
Di samping itu, bangunan ini juga digunakan untuk sarana ibadah. Oleh karenanya
Pesanggrahan Taman Sari juga dilengkapi dengan masjid, tepatnya di bangunan
Sumur Gumuling. Kompleks Taman Sari yang menempati lokasi seluas lebih dari 12
hektare berarsitektur dan relief perpaduan antara gaya arsitektur Hindu, Budha,
Islam, Eropa, dan Cina itu selesai dibangun pada tahun 1765 Masehi. Untuk
memberi makna pada setiap bangunan, Sri Sultan Hamengku Buwono I waktu itu
memberi nama masing-masing bangunan yakni Keraton Pulo Kenanga, Masjid Taman
Sari dan Pulo Penambung yang terapung di atas air, kolam pemandian dan gedung
tempat tidur Sri Sultan dan Permaisuri. Dalam Babad Memana dan serat rerenggan,
pengadaan bahan bangunan pembangunan Tamansari dipimpin Rangga Prawiro Sentiko,
Bupati Madiun. Sedang pengawas pelaksanaan pembangunan dilakukan Tumenggung
Mangundipuro.
Dalam catatan sejarah, pada tahun 1812 beberapa bangunan hancur
akibat serangan Inggris dan tahun 1867 terjadi gempa bumi yang juga
menghancurkan beberapa bangunan di kompleks Taman Sari. Namun saat ini
keagungan masa lampau itu sirna oleh menjamurnya rumah-rumah penduduk di
sekitarnya, kompleks Taman Sari sesungguhnya menjadi tak jelas. Bangunan itu,
memiliki nama masing-masing sesuai dengan fungsi atau kegunaan, seperti Gapura
Agung adalah pintu masuk menuju kompleks Taman Sari yang dilengkapi dengan
empat gedung kembar yang berfungsi sebagai pos penjagaan dan disebut pecaosan
serta ada tempat ganti pakaian abdi dalem yang sehabis menjalankan tugas
penjagaan yang disebut paseban.
Kolam pemandian terletak di sebelah selatan masjid membujur
dari utara ke selatan terdiri dari kolam pemandian yang disebut Umbul Kawitan, Umbul
Pamuncar, Umbul Panguras. Umbul Panguras adalah kolam pemandian khusus bagi Sri
Sultan, sedangkan Umbul Pamuncar adalah kolam pemandian yang disediakan bagi
permaisuri, dan Umbul Kawitan untuk putra-putrinya Raja. Bangunan lain Gedung
Cemeti, Taman Ledoksari merupakan tempat peraduan dan tempat yang sangat
pribadi untuk raja. Dalam sebuah rumor, menyebutkan, Taman Sari memiliki
terowongan yang ujungnya tembus ke pantai selatan yang disebut Parangkusuma dan
berfungsi sebagai sarana persiapan penyelamatan jika terjadi peperangan. Satu
bangunan yang menyiratkan perpaduan arsitektur Portugis dan Jawa adalah Sumur
Gumuling, Bentuknya menyerupai gedung teater melingkar dan tepat di tengah
bangunan, terdapat telaga buatan (Segaran) terdapat puing bangunan besar dan
luas.
Di salah satu sisinya terdapat tangga setapak yang gelap
menjuju lorong bawah tanah Taman Sari yaitu Sumur Gumuling. Di ujung lorong
terus menuju atrium (bilik) bundar yang terbuka bagian atasnya. Di tengah dasar
atrium ada kolam kecil seperti sumur. Ruang kecil di sisi barat dari kedua
galeri ini dipakai sebagai masjid. Jika dilihat dari keunikan struktur bangunan
ada kemungkinan tempat itu didesain sebagai tempat meditasi dan pengasingan diri.
Selain itu menurut mitos, terowongan tersebut juga berfungsi sebagai jalan
pertemuan antara Sultan dengan Penguasa Laut Selatan yaitu Nyai Roro Kidul. Di
tempat tinggal raja, dulunya disediakan ruang membatik, ruangan pementasan tari
Bedoyo dan Srimpi, dengan atap terbuka sehingga Raja dan kerabatnya bisa
menikmati pemandangan kota dan sekitarnya.
Taman Sari terhitung sebagai satu dari 100 situs dunia yang
terancam hancur. Jika ini terjadi maka Keagungan budaya dan seni masa lampau,
tak akan bisa dipertahankan. Karena itu, berbagai sumber dana dikucurkan untuk
membenahi peninggalan kuno situs kompleks Taman Sari. Atas jasa Jogja Heritage
Society The Calooste Golbenkian Foundation Portugal, yang memang bergerak di
bidang bangunan peninggalan Portugal di dunia, mengulurkan tangannya untuk
membantu renovasi Taman Sari. Kebetulan, Umbul Binangun yang saat ini sedang
dilakukan renovasi besar-besaran memang berarsitektur Portugal, dan dua lainnya
direnovasi dari dana APBN dan APBD DIY. Sementara, dana dari APBN diusulkan
untuk memugar gerbang dan urung-urung (lorong) Pulo Panambang dan gerbang Taman
Umbul Sari. Adapun dana lain yang akan mengucur dari APBD DIY diproyeksikan
untuk mendanai pembangunan Sumur Gumuling dan Pulo Cemeti. Menurut informasi
yang diperoleh, Pemda DIY sudah memugar komplek Taman Sari sejak tahun 1977,
dan lewat dana APBN, Dinas Purbakala melakukan pemeliharaan setiap harinya. Persoalan
pertama yang harus dipecahkan adalah memindahkan 2.500 rumah warga yang berjejal
di kawasan Taman Sari. Warga yang sudah tinggal puluhan tahun di tanah kraton
tersebut tidak bisa begitu saja dipindahkan.
Ketua Unit Keraton Yogyakarta Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala, Eka Hadiyana menjelaskan, renovasi Taman Sari harus dilakukan secara
bertahap, karena Sultan HB X yang saat ini memerintah Ngayogyakarta, tidak
ingin perbaikan Taman Sari justru menghilangkan auranya. Karena itu untuk
memugar Taman Sari, bukan berarti memolesnya. Tetapi menatanya kembali. Air di
Umbul Binangun yang terlihat keruh dan berlumut dikuras dan lapisan-lapisan
hasil renovasi sebelumnya, dibuka kembali. Eka menuturkan dengan dikomando
langsung oleh orang Portugis, keaslian arsitektur Portugis itu akan terkuak.
Selain itu, tim renovasi juga menemukan lobang penghubung
antarkolam pemandian. “Yang dulunya hanya dua, ternyata saat digali, ada tiga
lobang yang menghubungkan kolam di utara dengan selatan,” jelasnya. Menurutnya,
menunggu hasil renovasi memang tidak bisa cepat. Paling tidak akhir tahun 2004,
Umbul Binangun akan kembali keasriannya. “Renovasi bukan untuk memugar tetapi
justru mengembalikan ke bentuk aslinya,” paparnya. Inilah tentang pemugaran
kompleks Taman sari. Selain itu banyak wisata menarik lain di Jogja, kunjungi
dan rasakan betapa indah, nyaman dan eksotisnya kota ini.
Pembangunan Taman Sari yang lekat dengan arsitektur Portugis
ini ditangkap oleh telinga penduduk asli Yogyakarta dan diterjemahkan ke dalam
berbagai versi cerita. Versi pertama menyebutkan, seorang bangsa asing
terdampar di Mancingan daerah di pantai selatan Yogyakarta. Masyarakat di
daerah tersebut menduga bahwa orang tersebut termasuk sebangsa jin atau
penghuni hutan. Masyarakat menganggapnya demikian, karena orang tersebut menggunakan
bahasa yang tidak dimengerti. Akhirnya orang asing itu dihadapkan kepada Sultan
Hamengku Buwono II yang saat itu masih memerintah. Sultan akhirnya mengambil
orang asing tersebut sebagai abdinya. Beberapa lama kemudian, orang itu bisa
berbahasa Jawa dan mengaku sebagai orang Portugis yang kemudian menjadi abdi
yang mengepalai pembuatan bangunan. Sultan pun memerintahkannya untuk membuat
benteng. Rupanya Sultan merasa puas dengan hasil kerja orang Portugis tersebut,
dan kemudian menganugrahinya sebagai demang. Maka orang asing itu mendapat nama
Demang Portugis atau Demang Tegis. Dari sinilah, ia diperintahkan untuk membangun
Pesanggrahan Taman Sari. Versi lainnya, diceritakan bahwa pada suatu ketika
bupati Madiun yang waktu itu bernama Raden Rangga PrawiraoSentiko, memohon
supaya dibebaskan dari kewajiban membayar pajak daerah yang harus dibayarkan
dua kali dalam setahun. Bupati Madiun hanya menyanggupi bila ada
permintaan-permintaan khusus Sultan HB I untuk kelengkapan hiasan dan kemegahan
kraton. Sultan pun mengabulkan permohonan itu.
Bupati Madiun itu lantas diperintah untuk membuat gamelan
Sekaten sebagai pelengkap dari gamelan Sekaten yang berasal dari Surakarta. Semula
gamelan tersebut berjumlah satu pasang, tetapi oleh karena palihan nagari
(1755) gamelan itu dibagi dua. Satu untuk Kasultanan Yogyakarta dan satu lagi
untuk Kasunanan Surakarta. Di samping itu, Sultan Hamengku Buwono I juga memerintahkan
kepada Bupati Madiun untuk dibuatkan jempana ‘tandu’ sebagai kendaraan mempelai
putri Sultan HB I. Pada tahun 1684 Raden Rangga Prawira Sentiko diperintahkan
untuk membuat batu bata dan kelengkapannya sebagai persiapan untuk membangun
pertamanan yang indah sebagai sarana untuk menenteramkan hati Sultan Hamengku
Buwono I. Sultan menghendaki hal demikian karena baru saja menyelesaikan tugas
berat (perang) yang berlangsung cukup lama. Keluarnya perintah Sultan Hamengku
Buwono ditandai dengan sengkalan memet yang berbunyi Catur Naga Rasa Tunggal
(1684).
Video Taman Sari Jogja
Video Taman Sari Jogja
Alamat Taman Sari:
Pembuatan pesanggrahan itu dikepalai Raden Tumenggung Mangundipuraodan dipimpin oleh K.P.H. Notokusumo, yang kemudian hari menjadi K.G.P.A.A. Paku Alam I yang merupakan putra Sri Sultan dari istri selir yang bernama Bendara Raden Ayu Srenggara. Pembuatan tempat peraduan dan bangunan urung-urung (gorong-gorong) yang menuju keraton yang sering juga disebut Gua Siluman dilakukan pada tahun 1687 dan ditandai dengan candra sengkala Pujining Brahmana Ngobahake Pajungutan (1687). Sedangkan pembangunan pintu-pintu gerbang dan tembok diselesaikan pada tahun 1691. Pesanggrahan Taman Sari diberi tanda sengkalan memet yang berupa relief pepohonan yang berbunga dan sedang dihisap madunya oleh burung-burung. Sengkalan memet tersebut berbunyi Lajering Kembang Sinesep Peksi (1691).
Pembuatan pesanggrahan itu dikepalai Raden Tumenggung Mangundipuraodan dipimpin oleh K.P.H. Notokusumo, yang kemudian hari menjadi K.G.P.A.A. Paku Alam I yang merupakan putra Sri Sultan dari istri selir yang bernama Bendara Raden Ayu Srenggara. Pembuatan tempat peraduan dan bangunan urung-urung (gorong-gorong) yang menuju keraton yang sering juga disebut Gua Siluman dilakukan pada tahun 1687 dan ditandai dengan candra sengkala Pujining Brahmana Ngobahake Pajungutan (1687). Sedangkan pembangunan pintu-pintu gerbang dan tembok diselesaikan pada tahun 1691. Pesanggrahan Taman Sari diberi tanda sengkalan memet yang berupa relief pepohonan yang berbunga dan sedang dihisap madunya oleh burung-burung. Sengkalan memet tersebut berbunyi Lajering Kembang Sinesep Peksi (1691).
Dalam versi ini, Raden Rangga Prawiro Sentiko tak mampu
menyelesaikan pembuatan bangunan pesanggrahan Taman Sari karena biayanya lebih
besar dibandingkan dengan pembayaran pajak setahun dua kali. Oleh karenanya ia
kembali memohon untuk berhenti dan permohonan itu dikabulkan. Sultan kemudian
memerintahkan K.P.H. Notokusumo untuk menyelesaikan bangunan itu atas biaya
Sultan sendiri.[bp]