Monumen Pangeran Pecah Kulit di Museum Taman Prasasti Jakarta

Monumen Pangeran Pecah Kulit di Museum Taman Prasasti Jakarta - Pieter Erberveld lahir di Ceylon, dan meninggal Batavia, 12 April 1722, adalah seorang tokoh yang tercatat pernah dihukum mati oleh VOC pada tahun 1721 karena dianggap memimpin konspirasi dan sejumlah kekacauan yang bertujuan menentang kekuasaaan VOC. Elberfeld adalah orang Indo Jerman-Siam namun kemudian bekerja di Batavia. Nama keluarganya menunjukkan bahwa keluarganya berasal dari Elberfeld, yang sekarang menjadi bagian dari kota Wuppertal, NRW, Jerman. Ayahnya datang ke Batavia sebagai penyamak kulit. Setelah ia diangkat sebagai anggota Heemraad untuk mengurusi kepemilikan tanah di daerah Ancol, ia menjadi tuan tanah. Kekayaan ini diwariskan kepada anaknya. Menurut versi VOC, Elberfeld bersekongkol dengan beberapa pejabat Banten di Batavia untuk membunuhi orang Belanda pada suatu perayaan pesta. VOC juga menuduh ia bersekongkol dengan keturunan Surapati di Jawa bagian timur. Tidak diketahui motivasi Elberfeld sesungguhnya, apakah ia memang ingin membantu orang Banten (dipimpin Raden Kartadriya) menguasai kembali Batavia, atau ia memiliki rencana sendiri, apabila Belanda enyah dari sana, karena ia sakit hati atas perlakuan Gubernur Jenderal Johan van Hoorn yang telah menyita tanahnya.

Rencana pembunuhan ini bocor karena ada budak yang melapor ke VOC. Versi lain mengatakan, kalau Sultan Banten-lah yang membocorkan karena ia khawatir akan pengaruh Elberfeld dan Kartadriya yang akan merongrong kekuasaannya. Godee Molsbergen, yang menulis tentang peristiwa itu, melihat banyak kejanggalan pada tuduhan yang dialamatkan VOC terhadap Elberfeld. Dari Gereja Sion, sedikit lebih jauh menyusuri Jalan Pangeran Jayakarta kita melihat showroom mobil Toyota. Di tempat ini, beberapa tahun lalu terdapat sebuah monumen yang agak aneh. Sebuah tembok bercat putih dan di atasnya dipasang sebuah tengkorak yang terbuat dari gips. Pada dinding monumen tertulis teks dalam bahasa Belanda dan bahasa Jawa. Monumen sengaja dibuat untuk kenang-kenangan atas peristiwa hukuman mati terhadap Peter Erberveld. Menurut Adolf Heukeun, pengamat sejarah Batavia, Erberveld adalah seorang yang cukup berpendidikan. Ia keturunan seorang Jerman kaya yang menikahi wanita Thailand. Peter Erberveld sendiri berasal dari Kota Elberfeld, yang sekarang menjadi bagian Kota Wuppertal di negara bagian Nordrhein-Westphalen, Jerman.
Peter Erberveld banyak berhubungan dengan masyarakat lokal seputar Batavia. Konon, ia malah sudah berhubungan dengan putra-putri Suropati, yang terus memerangi Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di Jawa Timur. Katanya ia suka membagikan piringan tembaga yang kecil kepada pengagum-pengagumnya sebagai jimat. Laporan resmi VOC menyebutkan, bahwa Erberveld bersama Raden Kartadria – seorang Jawa – sejak lama berencana membunuh semua penduduk Belanda di Batavia pada pesta malam tahun baru 1722. Kabarnya, Erberveld ingin menjadi kepala Kota Batavia, sedang Raden Kartadria mau menjabat patih daerah luar kota.  Ada sumber lain yang mengatakan bahwa sultan dari Banten, yang diminta Erberveld untuk mendukung rencana pemberontakan, memberi tahu sang gubernur jenderal. Pasalnya sang sultan cemas akan pengaruh Erberveld dan Kartadria dalam wilayah kekuasaannya. Tiga hari menjelang rencana pembunuhan itu dilakukan, semua peserta pertemuan rahasia yang berlangsung di rumah Erberveld, ditangkap. Tempatnya persis di showroom mobil saat ini. Sejak 1985, ruang pamer itu ”sukses” menggeser keberadaan situs sejarah Erberveld. Ini satu contoh betapa ”noraknya” bangsa ini dalam menghargai sisa sejarah. Bersama tujuh belas pengikutnya yang kesemuanya orang Indonesia, Erberveld bersama Kartadria dihukum mati pada 22 April 1722. Pelaksanaan hukuman yang sadis itu digelar di lapangan sebelah selatan Benteng Batavia. Bayangkan, tubuh mereka semua dicincang dan jantung dicopot.
Foto-Foto Museum Taman Prasasti




Alamat Museum Taman Prasasti

Video Museum Taman Prasasti

 Saking sadisnya, tubuh itu ditarik ke empat penjuru dengan empat kuda sampai pecah jadi empat bagian. Karena alasan keamanan, pembunuhan ini tak dilakukan di depan Balai Kota. Orang Belanda khawatir pengikut-pengikut yang belum tertangkap akan menuntut balas. Kampung sekitar bekas monumen masih disebut Kampung Pecah Kulit.[bp]