[Terbaru] 10 Tempat Wisata
Toraja 2023 Yang Wajib Anda Kunjungi - Halo Sobat Berakhir Pekan, kali ini Kami
akan share 10 tempat wisata terbaik di Toraja, Baik di Kabupaten Tana Toraja
Maupun di Kabupaten Toraja Utara.
Pango-pango terletak sekitar 7 km sebelah selatan kota
Makale. Berada di ketinggian kurang lebih 1100 meter dari permukaan laut dengan
hawa yang dingin dan lingkungan alam yang alami ditanami berbagai macam tanaman
local seperti kopi, coklat, enau, tamarillo, kacang tanah, jagung dan beragam
sayuran serta lainnya pada wilayah ini. Pemandangan ke dataran rendah dimana
kota Makale dapat disaksikan dan bahkan sekeliling Toraja. Selain alam yang
indah, rencananya tempat ini akan difokuskan untuk lokasi trekking, camping,
ecotourism dan sebagai tempatpemerint sepeda gunung. Pango-pango Selain itu masih di sekitar kawasan
Pango-pango, di kampung Surruk direncanakan menjadi wisata kopi Toraja mulai
dari proses pembibitan, penanaman pemetikan, dan pengolahan kopi secara
tradisional hingga siap untuk dicicipi yang dikerjakan oleh masyarakat
setempat. Bagi yang suka softrekking dapat melanjutkan ke Bera sambil
melihat/terlibat dalam aktivitas penduduk setempat memandikan dan memberi makan
ternak kerbau dan babi. Di Bera salah satu penghasil tuak (palm wine) terbaik
di Toraja. Di sini anda diajak menyaksikan dan dilibatkan dalam proses pengambilan
tuak (palm wine) dan mencicipinya.
Video 10 Tempat Wisata Toraja terbaik
Video 10 Tempat Wisata Toraja terbaik
MATA air panas Makula telah diolah menjadi obyek wisata yang
menarik dan banyak dikunjungi wisatawan domestik maupun asing. Tak lengkap bila
tak ke Makula. Nyaman sekali mandi air panas alam di tengah suhu Toraja yang
dingin. Makula terletak di Sangalla, sekitar 24 kilometer sebelah selatan kota
Rantepao atau lima enam kilometer di sebelah barat kota Makale, Tana Toraja,
Sulawesi Selatan, Indonesia. Terdapat tiga sumber air panas di Makula yang
letaknya saling berdekatan. Di sekitar mata air itu, berdiri beberapa rumah
peristirahatan. Pengelolanya sengaja menyediakan kolam-kolam untuk menampung
air panas yang dialirkan dari sumbernya. Sambil menikmati keindahan alam di
Sangalla, wisatawan dapat berendam air hangat sepuasnya. Air panas itu muncul
dari batu gamping dan batu pasir yang mendominasi struktur tanah Sangalla.
Temperatur tertinggi air itu 43,6 derajat celcius pada temperatur udara 22,1
derajat celcius. Sumber panas diperkirakan berasal dari kantung magma di bawah
Bukit Kaero. Energi panas merambat melalui bebatuan. Wisata pemandian air panas
(hangat) Makula dapat dicapai dari Rantepao maupun Makale dengan kendaraan
pribadi atau fasilitas mobil yang disediakan hotel.
Tilangnga adalah sebuah kolam alami yang jauh dari hingar
bingar kota. Terbentuk pada batuan cadas yang dikelilingi pepohonan rimbun,
lengkap dengan bunyi-bunyian alam. Sederhana, apa adanya. Tapi itulah daya
tarik Tilanga. Sejuk dan menentramkan. Pemandian alami Tilanga terletak di Desa
Sarira, Kecamatan Makale, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Indonesia. Jaraknya
sekitar 15 kilometer sebelah selatan kota Rantepao atau 12 kilometer sebelah
utara kota Makale. Pemandian ini adalah kolam alam dengan sumber mata air di
dalamnya. Ukurannya cukup luas, sekitar 15 x 25 meter dengan kedalaman sekitar
tiga hingga lima meter di bagian tertentu. Bentuknya cerukan pada cadas tidak
beraturan. Sebagian kolam didominasi batu alam yang langsung menyambung dengan
dinding batu disekelilingnya. Di sekelilingnya, ada banyak pohon besar serta pohon pohon
bambu yang menaungi air di pemandian. Sinar matahari hanya bisa menerobos sela
sela dedaunan dan menciptakan bayang-bayang yang cantik. Menari-nari di
permukaan air. Sesekali daun daun yang telah tua dan kering jatuh melayang di
udara. Yang unik dari obyek ini, belut berukuran selengan bagian bawah orang
dewasa berenang dengan bebasnya. Tidak terganggu oleh manusia yang berada satu
kolam dengan mereka. Boleh dicandai atau diberi makan. Tapi jangan ditangkap
dan dibawa pergi. Penduduk asli di sana akan marah karena belut-belut itu
dianggap sebagai binatang yang sakral.
Kete’ Kesu’ adalah obyek wisata yang populer di Toraja. Obyek wisata ini terletak di kampung Bonoran
yang berjarak sekitar 4 km dari Kota Rantepao dan telah ditetapkan sebagai
salah satu Cagar Budaya. Untuk mencapai Kete' Kesu bisa dipakai kendaraan
pribadi atau angkutan umum dari Pasar Bolu. Jarak tempuh dari Rantepao sekitar
20 menit. Kete'Kesu berarti 'pusat kegiatan'. Sebutan itu sesuai dengan apa
yang bisa di temui di sana, yaitu adanya perkampungan, tempat kerajinan ukiran,
dan kuburan. Pusat kegiatan adalah deretan rumah adat yang disebut 'tongkonan',
berasal dari kata 'tongkon' yang berarti 'duduk bersama-sama'. Deretan
tongkonan ini (sebagian masih dihuni), berhadapan dengan deretan lumbung padi
yang disebut 'alang'.Di Kete' Kesu juga terdapat pengukir-pengukir yang handal
membuat ukiran untuk rumah adat, hiasan dinding, souvenir, dan tau-tau (patung
untuk menghormati orang meninggal yang dikuburkan). Di Kete' Kesu juga terdapat
dua jenis kuburan, yaitu kuburan di bukit batu dan kuburan yang berupa
bangunan. Kuburan di bukit batu ini sudah sangat tua. Tumpukan 'erong' (peti
mati) sudah banyak lapuk, dan tulang-tulang berserakan di alam terbuka. Yang
dimakamkan di sini terhitung saudara dan sanak famili. Keistimewaan Kete' Kesu
adalah bangunannya yang benar-benar masih asli, ditandai dengan atapnya yang
terbuat dari anyaman daun. Pada bangunan-bangunan tradisional yang baru, banyak
digunakan atap seng sebagai pengganti anyaman daun. Di Kete' Kesu juga terdapat
semua unsur pentin dalam budaya masyarakat Toraja, yaitu tongkonan (rumah),
alang (lumbung padi), kuburan, dan tempat pembuatan kerajinan ukiran.
Pernahkah Anda membayangkan sebuah kolam renang yang
letaknya di atas perbukitan? Atau pernahkan Anda membayangkan berenang di kolam
renang berstandar internasional di atas bukit sambil menikmati pemandangan
indah di bawahnya? Rasanya semua impian Anda itu bisa terwujud di kolam renang
Burake Hills Makale, Tana Toraja. Ya, kolam renang yang letaknya persis di
pintu masuk objek wisata religi Buntu Burake ini, menawarkan sensasi luar biasa
yang mungkin tidak Anda dapatkan di kolam renang lain. Pemilik Burakehills
Swimmingpool, Luther Barrung, mengatakan kolam renang ini dibuat mengikuti
standar internasional dan memenuhi selera wisatawan mancanegara, baik dari sisi
teknis maupun keamanannya.
Jembatan kaca Tana Toraja bisa dibilang merupakan jembatan
yang paling mengerikan di Indonesia. Jembatan ini memiliki panjang sekitar 90
meter dan berada di atas tebing yang sangat curam dan dalam. Tak hanya
kengerian dan kemegahannya, Jembatan Kaca Tana Toraja ini juga dikabarkan
menghabiskan dana pembangunan mencapai nominal Rp4 miliar. Tak berdiri sendiri,
seperti yang telah disebutkan di awal, Jembatan Kaca Buntu Burake Tana Toraja
dibangun di area wisata religi Patung Yesus Buntu Burake, Makale, Tana Toraja,
Sulawesi Selatan (Sulsel). Wisatawan yang datang ke destinasi ini tak perlu
khawatir dengan keamanan. sebab jembatan kaca ini dibuat dengan menggunakan kaca jenis tempered glass yang
berstandar SNI buatan Indonesia yaitu dari Kota Surabaya. Meski rasanya rapuh
dan terbuat dari kaca, Jembatan Kaca Tana Toraja ini dibangun dari kaca
berjenis tempered glass yang diketahui memiliki kekuatan yang jauh lebih baik
dari pada jenis kaca biasa. Selain itu kaca tempered glass juga mampu menahan
tiga hingga lima kali lipat beban angin, benturan, perubahan temperatur tinggi
dan juga tekanan air. Sehingga keamanan jembatan kaca ini sudah terjamin. Karakteristik
pecahan tempered glass juga aman, karena bentulnya tumpul dan kecil. Sehingga
tidak akan melukai pengunjung jika terdapat sedikit pecahan. Jadi, jikalaupun
pecah, pecahan kaca tempered glass berbentuk kecil-kecil dan tumpul, sehingga
sangat aman dan tidak melukai kulit.
Destinasi wisata Patung Yesus di Buntu Burake, Kecamatan
Makale, Tana Toraja, dikunjungi 1.056.592 wistawan, pada tahun 2016 lalu. "Ide
pembangunan objek wisata religi Buntu Burake itu benar-benar brilian. Buktinya,
objek wisata dengan ikon utama patung Yesus memberkati itu, mampu menarik
jutaan wisatawan," kata Bupati Tana Toraja, Nicodemus Biringkanae, kepada
TribunToraja.com, saat ditemui di rumah jabatannya, Rabu (5/4/2017) malam. Objek
wisata itu dibangun tahun 2014 lalu saat Tana Toraja dipimpin Theofilus Allorerung
dan Adelheid Sosang. "Jumlah kunjungan wisatawan ini naik berkali-kali
lipat dari tahun sebelumnya, bahkan saat digabung jumlah kunjungan wisatawan
selama empat tahun terakhir, belum dapat melampaui jumlah tahun 2016,"
ujar Mantan Kepala Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Sulawesi Selatan itu. Data
dari Dinas Pariwisata Tana Toraja, selama tahun 2016, jumlah wisatawan yang
mengunjungi objek wisata Buntu Burake, mencapai 1.056.592 orang, dengan jumlah
kunjungan per hari, wisatawan mencapai 15 ribu orang. Jumlah kunjungan
wisatawan nusantara ini juga jauh meninggalkan wisatawan mancanegara, yang
hanya sebanyak 20.271 orang. Sebagai pembanding, tahun 2015, jumlah kunjungan
wisatawan nusantara ke Tana Toraja hanya 82.767, wisatawan mancanegara 15.731
orang.
Gua Alam Tampang Allo terletak Kelurahan Kaero, Kecamatan
Sangalla, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Indonesia. Sekitar 23 km sebelah
selatan Rantepao atau sekitar 9 km sebelah barat Makale yang letaknya dengan
ketinggian 807m dpl dengan posisi koordinat S 03°05’15.0” dan E 119°54’11.1”. Di
kuburan gua alam Tampang Allo terdapat puluhan erong (peti mayat berbentuk
binatang), tau-tau (patung), tengkorak dan tulang-belulang orang Toraja zaman
dulu. Memasuki kawasan kuburan gua alam Tampang Allo melewati pematang sawah
sekitar 50m dari jalan raya dan di depan Tampang Allo terdapat hamparan sawah. Pada
sekitar abad ke-16 oleh penguasa Sangalla’, Sang Puang Menturino bersama
istrinya Rangga Bulaan memilih Gua Tampang Allo sebagai tempat pemakamannya
kelak jika mereka meninggal dunia. Menurut legenda masyarakat di Tampang Allo,
Rangga Bulaan meninggal lebih dahulu dan jenazahnya dimasukkan ke dalam Erong
dan diletakkan dalam gua Tampang Allo. Sedangkan Sang Puang Manturino pada saat
meninggal Erong ditempatkan pada pemakaman Losso’ tidak jauh dari Tampang Allo.
Entah bagaimana kemudian erong Sang Puang ternyata kosong. Sedangkan jenasahnya
telah bersatu dengan jenazah istrinya di Tampang Allo.
Kuburan Bayi Kambira terletak 9 km dari kota Makale ibukota
kabupaten Tana Toraja dengan ketinggian
780 m dpl dengan posisi koordinat S 03°04’33.3” dan E 119°51’56.2”. Memasuki
kawasan kuburan Bayi Kambira melewati anak tangga menurun sekitar 50 m dan kita
akan menemukan pohon yang besar dan tinggi yang disebut Pohon Tarra’ (bahasa
Toraja) memiliki diameter sekitar 80-120 cm dan disekitarnya terdapat rimbunan
pohon bambu. Pilihan Pohon Tarra‘ sebagai kuburan bayi karena memiliki banyak
getah, yang dianggap sebagai pengganti air susu ibu. Dan mereka menganggap
seakan-akan bayi tersebut dikembalikan ke rahim ibunya dengan harapan akan
menyelamatkan bayi-bayi yang lahir kemudian. Kuburan bayi ini disebut
Passiliran. Bayi yang meninggal sebelum giginya tumbuh dikuburkan di dalam
sebuah lubang di pohon Tarra‘ kemudian ditutup dengan ijuk pohon enau . Bayi
tersebut masih dianggap suci. Uniknya, tidak ada bau busuk yang tercium sama sekali
walaupun lubang-lubang tersebut berisi mayat. Pemakaman ini hanya dilakukan
oleh orang Toraja pengikut Aluk Todolo (kepercayaan kepada leluhur). Penempatan
jenazah bayi di pohon ini, sesuai dengan strata sosial masyarakat. Makin tinggi
derajat sosial keluarga itu maka makin tinggi letak bayi yang dikuburkan di
batang pohon Tarra’. Bayi yang meninggal dunia diletakkan sesuai arah tempat
tinggal keluarga yang berduka. Tiket masuk untuk wisatawan lokal Rp. 10.000 dan
Rp. 20.000 untuk wisatawan luar negeri.
Perjalanan dilanjutkan ke Suaya. Panorama sawah
bertingkat-tingkat memanjakan pandangan. Hutan di perbukitan hijau lestari.
Jejeran pegunungan granit di kejauhan menyedapkan horison. Semakin elok tatkala
formasi alam ini diselingi rumah-rumah Tongkonan yang begitu khas Toraja. Tak
terasa, saya sudah tiba di tempat parkir Suaya. 100 meter berjalan di setapak
yang masih basah. Aroma kesakrakalan peristirahatan para raja dan bangsawan
mulai terasa. Sayangnya, area ini terkesan kurang terawat. Rumput-rumput liar
tumbuh sesuka hatinya. Tempat ini sepi pengunjung. Rasanya kami adalah satu-satunya
pengunjung saat itu. Sebuah tebing tegak
lurus menjadi akhir pandangan mata saya. Kira-kira setinggi 70 meter. Puluhan
Tau-tau menyambut saya dengan tangan terentang. Seperti sebuah sambutan yang
ramah dari mereka untuk kehadiran saya. Tau-tau Suaya termasuk yang tua di
Toraja. Ada yang berusia hingga ratusan tahun. Mereka berjejer rapi di atas
tebing dengan memakai pakaian adat khas Toraja. Tau-tau seluruh mendiang
lengkap di Suaya. Di samping lubang Tau-Tau, ada beberapa lubang dengan pintu
kayu yang di dalamnya jasad-jasad darah biru Sangalla ini ditaruh untuk
dimakamkan. “Lihat di bawahnya, ada kuburan berada di tanah.” tunjuk Basho.
“Itu adalah pemakaman bagi bangsawan Sangalla yang beragama Islam.” Tertulis di
nisan putih bernama Haji Puang Lai Rinding. Lahir tahun 1905, wafat 23 April
1988. Makam Islam adalah keunikan yang
menjadikan Suaya berbeda dibandingkan kuburan batu lain di Toraja. Menurut
Basho, Haji Puang Lai Rinding adalah
bangsawan Toraja yang merantau keluar dari Tana Toraja. Kemudian dia memeluk
Islam hingga berhaji ke Mekkah. Meski demikian, sebagai orang Toraja, dia tetap
menghormati leluhurnya dengan berpesan dikuburkan di tanah asalnya. Sebaliknya,
orang Toraja juga menghormati agama Islam yang dianut bangsawan Lai Rinding
ini. Penguburan di atas tanah adalah sebuah ‘komunikasi’ yang mengedepankan
toleransi dalam masyarakat Toraja.[bp]
Ikuti Kami di: