Prosesi Sakral
Kerajaan Gowa, Accera Kalompoang Tahun 2019 - Accera Kalompoang merupakan
upacara adat untuk membersihkan benda-benda pusaka peninggalan Kerajaan Gowa
yang tersimpan di Museum Balla Lompoa. Inti dari upacara ini adalah allangiri
kalompoang, yaitu pembersihan dan
penimbangan salokoa (mahkota) yang dibuat pada abad ke-14. Mahkota
ini pertama kali dipakai oleh Raja Gowa,
I Tumanurunga, yang kemudian disimbolkan
dalam pelantikan Raja- Raja Gowa berikutnya. Adapun benda-benda kerajaan
yang dibersihkan di antaranya: tombak
rotan berambut ekor kuda (panyanggaya barangan), parang besi tua (lasippo), keris emas yang memakai
permata (tatarapang), senjata sakti
sebagai atribut raja yang berkuasa (sudanga), gelang emas berkepala naga (ponto
janga-jangaya), kalung kebesaran (kolara), anting-anting emas murni (bangkarak
ta‘roe), dan kancing emas (kancing gaukang).
Selain benda-benda pusaka tersebut, juga ada beberapa benda impor yang
tersimpan di Museum Balla Lompoa turut
dibersihkan, seperti: kalung dari Kerajaan Zulu, Filipina, pada abad XVI; tiga tombak emas;
parang panjang (berang manurung);
penning emas murni pemberian Kerajaan Inggris pada tahun 1814 M.; dan
medali emas pemberian Belanda. Pencucian
benda-benda kerajaan tersebut menggunakan air suci yang diawali dengan
pembacaan surat Al-Fatihah secara bersama-sama oleh para peserta upacara yang
dipimpin oleh seorang Anrong Gurua (Guru
Besar). Khusus untuk senjata-senjata pusaka seperti keris, parang dan mata
tombak, pencuciannya diperlakukan secara khusus, yakni digosok dengan minyak wangi, rautan
bambu, dan jeruk nipis. Pelaksanaan
upacara ini tidak hanya disaksikan oleh para keturunan Raja-Raja Gowa,
tetapi juga oleh masyarakat umum dengan
syarat harus berpakaian adat Makassar pada saat acara.
Upacara adat Accera Kalompoang digelar sekali setahun, yakni setiap usai shalat Idul
Adha pada tanggal 10 Zulhijjah di Museum
Balla Lompoa. Upacara adat yang sakral ini pertama kali dilaksanakan oleh Raja Gowa yang pertama kali memeluk
Islam, yakni I Mangngarrangi Daeng
Mangrabbia Karaeng Lakiung Sultan Alauddin pada tanggal 9 Jumadil Awal
1051 H. atau 20 September 1605. Meskipun
Raja Gowa XIV itu telah memulainya, namun
upacara ini belum dijadikan sebagai tradisi. Raja Gowa XV, I Mannuntungi
Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid Tumenanga
Ri Papambatuna, mentradisikan upacara
ini pada setiap tanggal 10 Zulhijjah, yakni
setiap selesai shalat Idul Adha. Selanjutnya, Raja Gowa XVI, I
Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomanggape
Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla Pangkana yang bergelar Ayam Jantan dari timur, memasukkan
unsur-unsur Islam ke dalam upacara ini, yakni penyembelihan hewan kurban.
Sejak itu, Raja-raja Gowa berikutnya terus melaksanakan upacara Accera Kalompoang ini
dan sampai sekarang terus dilaksanakan
oleh para keturunan mereka. Oleh karena pelaksanaan upacara ini
memerlukan biaya yang cukup besar, yakni
mencapai puluhan juta rupiah, maka setiap
keluarga yang tergabung dalam Kerukunan Keluarga Salokoa membiayai
upacara ini secara bergiliran. Upacara
adat Accera Kalompoang adalah salah satu ritual adat yang bersifat sakral, yang
sangat diyakini dan dihormati masyarakat Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Upacara yang digelar dirumah adat Ballalompoa, atau Istana Raja Gowa ini
merupakan upacara ritual terbesar sepanjang tahun. Prosesinya sendiri dimulai
sejak pemerintahan Raja Gowa ke 14, yaitu Sultan Alaudin, Raja Gowa yang
pertama kali memeluk agama Islam. Accera Kalompoang, merupakan acara ritual
pencucian benda-benda peninggalan Kerajaan Gowa yang masih tersimpan di Istana
Ballalompoa. Berlangsung selama 2 hari berturut-turut, menjelang dan pada saat
Idhul Adha. Upacara ini diadakan oleh keturunan Raja Gowa secara bergantian.
Tahun ini giliran keluarga Andi Mapaturung. Sedangkan dana untuk upacara ini,
ditanggung bersama. Pemerintah daerah turut serta berpartisipasi. Segala
sesuatu dipersiapkan untuk upacara allekka je'ne, yaitu upacara mengambil air
di Sumur Bungun Lompoa, yang artinya sumur besar bertuah. Sesajen berupa bente,
atau beras ketan, dupa, lilin, dan daun sirih, turut serta dibawa. Sesepuh adat
dan iring-iringan pembawa benda pusaka beserta keluarga kerajaan mulai memasuki
sumur Bungun Lompoa yang terletak di Bukit Tamalatea, dekat makam Sultan
Hasanudin, atau sekitar 500 meter dari Istana Ballalompoa.
Sambil melantunkan paroyong, atau nyanyian kepada Sang
Pencipta dan leluhur, para sesepuh adat memainkan alat musik jajjakkang. Alat
musik yang terdiri dari kancing, bacing, bulo, dan kaoppo ini merupakan alat
musik yang digunakan kalangan raja untuk pesta adat. Sesajen mulai ditabur
diatas air sumur. Air sumur lalu diambil dengan menggunakan sero, atau timba,
yang bahannya terbuat dari daun lontar. Konon, ada tiga sumur disekitar Bukit
Tamalatea. Namun dua dari tiga sumur tersebut, hilang secara gaib. Usai
mengambil air, rombongan kembali ke istana untuk mengikuti upacara selanjutnya.
Yaitu upacara ammolong tedong, atau penyembelihan kerbau, saat matarahari pada
posisi allabang lino atau pertengahan bumi. Kerbau yang akan disembelih, juga
harus memenuhi syarat antara lain jantan, berwarna hitam dan kondisinya prima.
Sang kerbau pun diperlakukan secara khusus. Diberi cermin, disisir
bulu-bulunya, dan diikatkan kain putih sebagai simbol kesucian. Lalu kerbau
diarak keliling istana sebanyak 3 kali putaran. Sebelum prosesi penyembelihan
berlangsung, keluarga yang memiliki hajat, melakukan sebuah prosesi, sebagai
bentuk penghormatan kepada Sang Pencipta dan para leluhur. Satu persatu para
turunan Raja Gowa ini, memecahkan telor, memberi minyak khusus dan mengarahkan
uap ke kepala kerbau. Penyembelihan dilakukan oleh seorang sesepuh adat. Darah
kerbau ini selanjutnya disimpan di istana. Malam hari, berlangsung upacara
appidalleki, yang bermakna, persembahan sesajen kepada leluhur sembari
memanjatkan doa syukur kepada Sang Pencipta. Upacara ini hanya untuk kalangan
keluarga raja saja. Esok hari usai mengikuti shalat Idul Adha, upacara
allangiri kalompoang, atau pencucian benda-benda utama pusaka kebesaran
Kerajaan Gowa pun dimulai. Ini merupakan puncak upacara dari segala rangkaian
acara accera kalompoang. Air bertuah yang diambil dari Sumur Bungun Lompoa
diletakkan diatas panggung, beserta darah kerbau dan sesajen lainnya. Benda
peninggalan Kerajaan Gowa yang berjumlah 13 buah, mulai dikeluarkan dari tempat
penyimpanan. Annyossoro, atau pembersihan mulai dilakukan oleh turunan Raja
Gowa terakhir, Andi Manganruru Pataemba. Benda-benda pusaka ini lalu diberikan
kepada para sesepuh adat yang sudah menanti di atas panggung.
Para sesepuh adat mulai mencuci benda-benda pusaka yang
terdiri dari, salokoa, atau mahkota, yang memiliki berat 1768 gram, terbuat
dari emas murni, dan ditaburi 250 permata. Konon mahkota ini pernah dipakai
oleh Raja Gowa pertama. Benda pusaka lain, ponto janga jangaya, merupakan
gelang emas berbentuk naga, yang berjumlah 4 buah. Dilanjutkan dengan pencucian
tobo kaluku, atau rantai emas, dan benda-benda pusaka lainnya termasuk 4
senjata sakti, yang sering digunakan para raja dahulu kala. Satu persatu benda
pusaka dibasuh oleh air Sumur Bungun Lompoa, kemudian diasapi dengan dupa. Upacara diakhiri dengan prosesi attitele,
atau pelepasan hajat. Para raja keturunan Gowa mengambil air dan darah kerbau
untuk dibubuhi pada mahkota. Jaman dulu kala, seusai mencuci benda pusaka,
masyarakat menunggu proses annimbang, atau menimbang benda-benda pusaka dengan
timbangan khusus. Namun karena timbangan itu kini sudah tak ada, sebagai
gantinya memanjatkan do`a bersama, dipimpin sesepuh adat.
Inti dari upacara Accera Kalompoang adalah upacara
penimbangan Salokoa atau Mahkota raja yang terbuat dari emas murni dan
dikreasikan pada abad ke-14. Mahkota ini pertama kali dipakai oleh Raja Gowa, I
Tumanurunga yang disimbolkan lewat pelantikan raja-raja. Mahkota berhiaskan 250
butir berlian dengan berat mencapai 1.768 gram akan ditimbang dan juga dipercaya sebagai pertanda akan
kehidupan masyarakat Gowa untuk masa yang akan datang. Dan dari hasil timbangan
itulah akan diketahui makmur atau tidaknya masyarakat Gowa. Jika berat
timbangan berkurang, maka dianggap pertanda akan terjadinya bencana.
Sebaliknya, jika berat timbangan bertambah, dipercaya sebagai isyarat
kemakmuran. I Mangngarrangi Daeng Mangrabbia Karaeng Lakiung Sultan Alauddin,
yang merupakan Raja Gowa pertama yang mengadakan upacara Adat Accera Kalompoang
pada 9 Jumadil Awal 1051 H atau 20 September 1605. Dan acara upacara adat ini
dijadikan tradisi pada masa pemerintahan
I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid
Tumenanga Ri Papambatuna yang menjabat sebagai Raja Gowa ke XV. Dan jika sobat merasa tertarik ingin melihat
langsung upacara adat ini maka sobat bisa datang pada setiap selesai shalat
Shalat Idul Adha di Museum Balla Lompoa,
Kerajaan Gowa di Jl. Sultan Hasanuddin No. 48 Sungguminasa, Somba Opu, Kabupaten
Gowa. Dan Wajib untuk mengenakan baju adat Makassar sebagai persyaratan untuk mengikuti Accera
Kalompoang.[bp]
Video Prosesi Sakral Kerajaan Gowa, Accera Kalompoang Tahun
2019
Ikuti Kami di: