Ritual Mappalili Bissu Puang Matoa Segeri Pangkep

Ritual Mappalili Bissu Puang Matoa Segeri Pangkep– Mappalili / Appalili adalah sebuah bentuk kebudayan yang merupakan tradisi yang telah dilakukan sejak dahulu yang dilakukan pada setiap memasuki masa tanam padi dengan maksud agar tanamam padi terhindar dari kerusakan yang akan mengurangi produksi padi. Ritual ini dijalankan oleh para Pemimpin upacara Bugis Kuno yang dikenal dengan sebutan Bissu.Ritual yang dijalankan oleh para Bissu telah mengalami pergeseran. Seperti ritual adat Mappalili. Dulu ritual adat ini sangat meriah dan hikmat, bisa berlangsung 40 hari 40 malam dengan melibatkan 40 Bissu (Bissu PattappuloE). Tapi, sejak 1966, acara lebih sederhana dan hanya berlangsung 7 hari 7 malam. Sekarang tinggal 3 hari 2 malam saja. pasa masa kerajaan prosesi ritual adat Mappalili ini dilakukan sangat meriah karena tradisi ini dipelopori oleh kaum bangsawan dan hartawan Bugis di Segeri. Pada masa kerajaan, Mappalili dibiayai oleh Karaeng Segeri (Raja), bahkan bangsawan dan para pedagangpun ikut berpartisipasi dalam ritual adat Mappalili, sehingga proses upacara berlangsung sangat meriah.

Akan tetapi setelah sistem kerajaan dihapus dan diubah menjadi sistem Republik, kekuasaan Raja diambil alih oleh kepala daerah (Bupati), Mappalili yang dulunya dilakukan selama 40 hari 40 malam kini hanya 2 hari 2 malam saja, dikarenakan karena faktor biaya, karena pemerintah tidak sepenuhnya menanggung seluruh biaya Ritual adat Mappalili. Sekarang ini  biaya yang diberikan oleh pemerintah tidak cukup, dan untuk menambah dana didapatkan melalui sumbangan dari Pasar Segeri. Karena biaya yang dibutuhkan dalam proses ritual cukup besar. Jadi untuk dana yang terbatas maka hari pelaksanaan Ritual adat Mappalili dikurangi menjadi 2 hari tanpa mengurangi nilai yang terkandung dalam ritual Mappalili. Ritual adat yang dipimpin oleh pimpinan Bissu yang disebut dengan Puang Matowa, terhenti di Segeri pada tahun 1965 hingga 1968.

Gerakan pemurnian ajaran Islam tersebut mereka sebut “Operasi Toba” (Operasi Taubat) yang gencar-gencarnya terjadi pada tahun 1966. Sejak itu, upacara Mappalili mengalami kemunduran, Mappalili tidak lagi diselenggarakan secara besar-besaran. Para Bissu bersembunyi dari ancaman maut yang memburunya. Masyarakat tidak lagi peduli akan nasib mereka, karena sebagian dari mereka memang mendukung gerakan “Operasi Toba” tersebut. Sebagian masyarakat yang bersimpati kepada para Bissu hanya tinggal diam tanpa bisa berbuat apa-apa. Namun ketika masyarakat menuai padinya, ternyata hasilnya memang kurang memuaskan sehingga beberapa masyarakat beranggapan hal tersebut terjadi karena tidak melakukan upacara Mappalili. Dengan kesadaran itulah beberapa di antara mereka menyembunyikan Bissu yang tersisa agar tidak di bunuh dan agar upacara mappalili dapat dilaksanakan lagi.

Bissu-bissu yang selamat itulah yang masih ada sekarang ini. Kini jumlah mereka yang tersisa di seluruh wilayah adat Sulawesi Selatan tidak lebih dari empat puluh orang saja, padahal untuk melakukan sebuah upacara Mappalili yang besar, jumlah Bissu minimal harus berjumlah empat puluh orang (Bissu PattappuloE) dalam sebuah wilayah adat.

Upacara Mappalili bisa dilakukan secara formal sejak tahun 1968. Ketika itu para petani diam-diam mulai ragu sebab sejak Mappalili dihilangkan, pasti panen mereka menurun terus, Bahkan sawah mereka tidak produktif seperti saat masih dilakukan Mappalili. Sejak itulah pemerintah memperbolehkan masyarakat melaksanakan Mappalili meski dengan cara yang sederhana meskipun peran Pemerintah kini hanya sebatas pada persiapan dan penentuan pelaksanaan Mappalili. Mereka tidak lagi mengikuti rombongan ketika Arajang diarak mengelilingi kampung dengan beberapa route-route tertentu.

Ritual adat Mappalili di Segeri Kabupaten Pangkep dilaksanakan setiap setiap tahun antara bulan November-September dan pada tahun ini dilaksanakan tanggal 11-13 Nopember 2021. Adapun tempat penyelenggaraan prosesi tradisi Mappalili ini dipusatkan pada rumah Arajang ( tempat menyimpan benda-benda pusaka ) yang terletak di Desa Bontomatene 200 meter dari jalan poros Segeri. Ritual adat Mappaliliini dilakukan dengan maksud ritual memulai tanam padi. Agar tanaman padi terhindar dari kerusakan. Dengan maksud sebagai tanda Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa kerana berkat rahmat dan taufiknya masyarakat Segeri dapat hidup tentram, aman, dan cukup pangan sehingga dapat melaksanakan upacara adat untuk mengenang To manurung yang telah memberi petunjuk dan pedoman dalam mengatur kehidupan masyarakat Segeri. Adapun menurut keyakinan dan kepercayaan penduduk bahwa dengan mengadakan ritual adat Mappalili maka penduduk akan selamat dan mendapat berkah dari Tuhan.




















Pimpinan upacara yang terlibat dalam ritual adat Mappalili  yaitu terdiri dari Puang matowa sebagai pemimpin upacara yang dibantu oleh para Bissu dan pemangku adat lainnya. Selain dari pada itu, tokoh-tokoh masyarakat baik yang ada di Segeri maupun yang berdomisili diluar daerah ikut melibatkan diri dengan memberikan bantuan baik moral maupun material. Begitu pula masyarakat yang tinggal disekitar kampung Segeri tidak ketinggalan menghadiri ritual adat Mappalili. Sebelum melakukan ritual adat Mappalili, proses ritual yang dimulai dari awal bulan November, tokoh masyarakat, tokoh tani bekerja sama dengan pemerintah yang dihadiri oleh unsur lembaga pemerintah terkait, bermusyawarah untuk menghasilkan kesepakatan-kesepakatan sebelum dilaksanakannya Mappalili, adalah:

  • Menentukan hari Mappalili, (mulai turun sawah)
  • Menentukan waktu hambur
  • Menentukan waktu tanam
  • Menyepakati varietas yang akan ditanam.

Adapun runtutan prosesi ritual adat Mappalili di Segeri Kabupaten Pangkep yaitu: Pertama, proses upacara diawali dengan “Mattedu Arajang (membangunkan pusaka yang dikeramatkan berupa bajak sawah) bajak sawah yang tergantung dilangit-langit ruangan penyimpanan, konon bajak sawah ini ditemukan secara gaib melalui mimpi. bajak dari kayu ini sudah ada sejak tahun 1305. Adapun sesajian yang disiapkan dalam Mattedu Arajang hanya dua macam yaitu:

  1. Sokko (meremas nasi ketan yang diberi warna merah, kuning, putih, dan hitam, yang diletakkan dalam piring-piring kecil. Adapun artinya warna merah adalah api, warna kuning adalah angin, warna putih adalah air, dan warna hitam adalah tanah.
  2. Palopo(Kelapa dan Gula ). Kelapa yang memiliki Makna tumbuhan yang seluruh bagiannya mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Dan Gula bermakna segala sesuatu yang dilakukan atau yang diniatkan akan menghasilkan yang manis pula.
  3. Dupa , pa’dupa berarti kita melaksanakan acara tardisi ini, dan memiliki aroma yang sangat wangi yang bermakna agar kita selalu merasakan aroma-aroma positif

Pimpinan Bissu yang disebut Puang Matowa sebagai pimpinan upacara duduk didepan Arajang  dengan posisi duduk bertungku satu kaki, sementara tangan kirinya memegang sebuah parang, lalu mengucapkan mantra. Puang Matowa yang mencoba berkomunikasi dengan para dewata atau arwah leluhurnya. Komunikasi dengan arwah leluhur untuk untuk mendapatkan restu, ini dilakukan terus menerus sepanjang upacara pada saat-saat tertentu yakni pada tengah hari (mattangasso), petang (malabu’esso), tengah malam (matengnga benni), dalam proses membangunkan arajang puang matowa menggunakan nyanyian yang mana lagu ini menggunakan bahasa Dewata ( bahasa torilangi ) dan maknanya hanya dipahami oleh Bissu.


Kegiatan tersebut oleh kalangan Bissu  dikatakan sebagai salah satu ritual meminta izin kepada leluhur agar benda yang dianggap bersejarah itu dapat diturunkan. Katanya, pamali jika tidak dilakukan ritual seperti ini. Dan akhirnya, benda yang terbungkus kain putih dan tergantung di langit – langit ruangan itu pun lalu diturunkan. Kedua, setelah Matteddu Arajang akan dilanjutkan dengan dengan Mappalesso Arajang Arajang diturunkan dari tempatnya ) Arajangdipindahkan disebuah ruang terbuka yang mirip pendopo, tujuh pemangku adat bersama sejumlah Bissu  membopong benda pusaka yang berupa Bajak sawah keluar ruangan terbuka yang mirip pendopo, setelah Arajang dipindahkan kemudian dibuka dan dibaringkan seperti jenazah. Arajang ditutupi daun Pisang kemudian ujungnya diberi tumpukan beberapa ikat padi yang masih berbentuk bulir kemudian pada bagian atas tumpukan padi itu dipasangi payung khas Bugis. Ketiga, Mallekko Bulalle atau menjemput nenek. Belalle ini adalah nama orang dengan wujud tidak seperti manusia, yang tinggl di sebuah hutan. Penjemputan ini dilakukan di Pasar. Sebelum penjemputan dilakukan di Pasar terlebih dahulu menyiapkan beberapa bahan ritual.

Keempat, Mallekke Uwae adalah proses setelah Arajang  dipindahkan kemudian dilanjutkan dengan memandikan Arajang  dengan air Suci yang diambil dari sungai Segeri. Air di ditempatkan didekat kepala dan kaki Arajang  kemudian Puang matowa dan beberapa tokoh masyarakat memandikan Arajang . Saat memandikan Arajang . banyak masyarakat yang belomba-lomba untuk mengambil air dari bekas Arajang, mereka meyakini bahwa air tersebut bisa menjadi obat untuk tanaman padi.

Kelima, pukul 19.00 WIB giliran para Bissu untuk melakukan tari Mabbissu atau Magiri. Mabbissu berasal dari kata Bissu  yang mendapat awalan ma yang berarti melakukan tarian Bissu . Sementara Bissu  berasal dari kata Bessi yang berarti bersih dan kuat. Puncak dari tari Mabbissu adalah Ma‟giri adalah tarian para Bissu  dengan menusuk-nusukkan benda tajam di bagian tubuhnya seperti, mata, telapak tangan, leher, dan perut. Tari Ma‟giri merupakan tarian unik dengan mempergunakan sebilah keris pusaka yang mengandung unsur mistis didalamnya. Tari ini sudah berusia ratusan tahun Sebelum melakukan tari Ma’giri mereka berdandan semaksimal mungkin untuk tampil paling cantik.

Pada saat upacara ritual pada jaman dahulu para Bissu  memakai kostum berwarna kuning dan merah, sedangkan Puang Matowa memakai warna putih. Namun perkembangan jaman sekarang selain sebagai upacara ritual, atraksi Bissu  juga sebagai sebuah pertunjukan. Sehingga untuk kostum dan asesoris yang dipergunakan semakin menarik, indah, dan lengkap. Warna kostum yang dipakai pun makin mencolok, walaupun itu untuk pakaian yang dikenakan oleh Puang Matowa (pua mtoa), sehingga tidak hanya warna putih saja.  Adapun properti-properti atau kelengkapan alat-alat yang dipergunakan, menurut Halilintar seperti yang ditulis dalam bukunya yang berjudul Bissu dan Peralatannya, properti yang dipergunakan dalam menari Bissu  mempergunakan:

Alosu (alosu), yaitu seperti tongkat kayu yang pendek, bentuknya seperti kepala burung, yang dianyam dengan indah dengan daun lontar (untuk saat ini dihias dengan kertas warna), dan diberi ekor-ekoran. Ada satu lagi yang dibungkus dengan kain warna merah, dan ekorekoran juga disebut dengan Arumpigi;

Teddung Buburu (etdu buburu), yaitu payung berwarna kuning atau orange ini biasanya terbuat dari kain sutra dan bergagang dari kayu atau bambu. Pinggiran pada payung dihiasi dengan renda-renda yang indah. Kemudian ada juga yang menggunakan bendera sebagai pelengkap properti yang disebut dengan Bendera Arajang;

  • Besi Banrangga adalah seperti sebuah tombak yang diletakkan pada tempatnya berdampingan dengan payung;
  • Oiye adalah seperti irisan bambu kecil dan panjang yang dibalut dengan daun lontar
  • Lellu adalah seperti tenda berwarna kuning dan hanya bagian atasnya, samping kanan dan kiri tanpa kain, disangga dengan kayu membentuk persegi lima.
  • Paccoda adalah perlengkapan untuk menari, yaitu sebuah kotak kayu persegi delapan yang dibungkus kain berwarna kuning.

Kegiatan terakhir adalah mengarak arajang keliling kampung. Ini menjadi aba-aba bahwa waktunya untuk turun membajak sawah. Selain berkeliling kampung, arajang dibawa ke tengah sawah yang sekarang sudah menjadi kawasan empang. Arajang disentuhkan ke tanah, lengkap dengan sesembahan, termasuk menyembelih ayam, yang merupakan bagian dari sesembahan. Pada saat mengarak, setiap warga yang dilewati bisa menyiramkan air ke rombongan pengarak Arajang . Kegiatan ini merupakan bentuk permintaan hujan kepada Sang Pencipta. Mappalili sebagai salah satu upacara sakral yang mempunyai beberapa pantangan yang harus ditatati oleh masyarakat, pantangan itu seperti :

  1. Selama upacara berlangsungg, warga masyarakat pantang bertengkar, baik dalam keluarga sendiri maupun orang lain, bila hal itu terjadi, kemungkinan Arajang ( Dewata ) akan marah. Hal ini akan menyebabkan kesuburan tanah akan hilang dan tanaman tidak akan tumbuh baik
  2. Dalam perjalanan arak-arakan membawa arajang, pantang sesuatu melintas didepannya. Hal ini mengandung pengertian bahwa kalau terjadi hal demikian akan terjadi kegagalan dalam usaha penanaman yang mungkin desebabkan oleh hama dan tikus.
  3. Petani berpantang mendahului arajang membajak sawahnya. Bila ini terjadi, maka orang yang mendahului Arajang akan rusak tanamannya karena dianggap tidak mendapat berkah dari Arajang
  4. Pantang menyuguhkan/ memberi saji-sajian yang sudah pernah diambil sebagian oleh manusia. Makanan yang dimaksud seperti pisang, yang telah hilang sebagian baunya atau makanan lainnya yang sudah pernah dimakan oleh manusia atau binatang. Semuanya ini dianggap kurang hormat kepada Arajang.
  5. Pantang memandikan Arajang selain dari sungai Segeri. Hal demikian dianggap kurang wajar. Karena asal kedatangan Arajang melalui Sungai Segeri. Oleh karena itu air mandinya haruslah air dari sungai Segeri. Bila terjadi pelanggaran, maka masyarakat bersama seluruh tanaman mengalami kekeringan yang berarti pula bahwa manusia akan mengalami kesulitan pangan.[bp]