Tahapan Lengkap Pelaksanaan Upacara Rambu Solo’ di Toraja

Tahapan Lengkap Pelaksanaan Upacara Rambu Solo’ di Toraja – Sahabat sekalian pada kesempatan kali ini Berakhir Pekan Akan Berbagi Artikel mengenai Tahapan lengkap pelaksanaan upacara atau pesta orang mati rambu solo’ Toraja secara umum, meskipun pada kenyataanya di lapangan terjadi kergamaman prosesi rambu solo di toraja, misalkan rambu solo; toraja barat beda dengan rambu solo; sa’dan, begitupun daerah lain di tondok lepongan bulan tana matarik allo ada kekhasan masing-masing. Proses Pelaksanaan Upacara Rambu Solo’ Sebelum pelaksanaan upacara rambu solo’, beberapa persiapan yang dilakukan:


PRA UPACARA RAMBU SOLO’

Ma’ dio (Memandikan Jenazah)

Pada masyarakat Toraja secara umum, apabila ada yang meninggal akan dimandikan oleh keluarga terdekat, setelah itu akan disuntik formalin dengan tujuan agar tidak menimbulkan bau yang tidak sedap. Hal ini dikarena jika ada yang meninggal tidak langsung dimakamkan, keluarga masih mempersiapkan segala sesuatunya untuk pelaksanakan upacara pemakaman (rambu solo’). Jenazah yang telah disuntik dibaringkan dalam sebuah kamar, sampai keluarga telah menyediaan sebuah peti jenasah. Pada sore hari diadakan ibadah duka sebanyak dua kali. Setelah itu, akan diadakan ibadah yang ke 3 (tiga) sekaligus memasukan jenasah kedalam peti. Ibadah duka tersebut akan dipimpin oleh pendeta atau pastor dari gereja keluarga yang meninggal. Selama ibadah dilaksanakan keluarga terdekat maupun masyarakat setempat membantu keluarga yang berduka mempersiapkan perlengkapan untuk ibadah misalnya tikar, peralatan makan dan minum. Selain itu ada yang membantu menyumbangkan beras, kopi, gula, rokok, tuak (minuman tradisional). Pada malam hari keluarga dan masyarakat terdekat bergantian  datang dirumah duka untuk menemani keluarga yang sedang berduka. Masyarakat Toraja masih menganggap orang yang telah meninggal sebagai orang sakit (makula) apabila keluarga belum melaksanakan upacara rambu solo’. Sehingga selama belum ada pelaksanaan upacara keluarga akan menganggapnya sebagai orang sakit dan diperlakukan sebagai mana orang sakit pada umunya misalnya menyediakan kopi atau teh pada pagi hari, menyediakan rokok jika yang meninggal merokok, menyediakan sirih apabila yang meninggal memakan sirih waktu masih hidup, serta memberikan makan siang dan makan malam dihidangkan dipiring lalu diletakkan disamping peti jenazah.

Sirampun (Pertemuan Keluarga)

Pertemuan keluarga orang yang wafat, baik dari pihak ibu maupun bapak dilakukan untuk membicarakan ahli waris tingkat upacara yang akan dilakukan, tempat pelaksanaan upacara, persediaan hewan sekaligus memperhatikan status sosial atau kasta orang yang meninggal tersebut. Pertemuan keluarga berupaya untuk mengambil keputusan dan harus disetujui oleh semua pihak utamanya ahli waris atau keturunannya. Namun apabila yang meninggal tidak memiliki warisan, hal tersebut tidak menjadi masalah. Pertemuan seperti itu juga dihadiri oleh ketua-ketua adat dan pemerintah. Secara rinci keputusan yang harus diambil dalam pertemuan keluarga itu, adalah kesepakatan tentang tingkat upacara pemakaman. Tingkat upacara itu disesuaikan dengan kemampuan menyediakan hewan dan strata sosial orang meninggal. Penentuan jumlah hewan, berdasarkan hewan-hewan yang disiapkan oleh ahli waris maupun bukan ahli waris. Selain itu, tempat pelaksanaan upacara, misalnya di rumah tempat meninggalnya atau ditetapkan di Tongkonan. Selanjutnya pembahasan mengenai persiapan pondok upacara.

Melantang (Pembuatan Pondok)

Pemondokan dikerjakan secara gotong royong oleh masyarakat (pa’tondokan) sekitarnya. Mulai dari persediaan bambu, bapakbapak atau anak mudah saling  membagi tugas ada yang menebang bambu kemudian ada bertugas mengangkat bambu ke tempat yang akan melaksanakan upacara. Setelah persediaan bambu telah cukup, kemudian masyarakat membuat pondok sesuai dengan kesepakatan dari keluarga. Pondok diatur secara teratur mengelilingi tempat jenazah (tempat mengatur acara pemakaman), yang diatur oleh petugas-petugas upacara termasuk dalam hal ini penyiapan pondok-pondok tempat memasak makanan, menerima tamu, tempat tidur oleh keluarga pada malam hari. Pondok-pondok yang dibangun tersebut juga harus disesuaikan dengan kasta atau strata sosial yang akan diupacarakan.  Pondok (lantang) terdiri dari:  a. Pondok Penerimaan Tamu (Lantang Karampuan), merupakan tondok yang menampung para tamu dari berbagai kerabat atau keluarga yang tiba dari berbagai tempat.  b. Pondok Keluarga (Lantang Keluarga), merupakan pondok tersendiri dari keluarga si mati baik dari pihak ayah atau ibu yang telah dibagi sesuatu kesepakatan keluarga. Selain itu ada tempat tersendiri untuk tempat si mati yaitu lakkian, pondok yang lebih tinggi dari pondok yang lainnya. Ada tempat tersendiri untuk membagi-bagikan daging kepada tokoh masyarakat, pemerintah, tokoh agama dan tokoh adat. Para ibu-ibu, anak mudi setempat bertugas dibagian dapur misalnya menapis beras (manta’pi barra’), memasak nasi (ma’nasu), menyediakan kopi, air minum, membersihkan tempat untuk mendirikan pondok, dan lain sebagainya.

Ma’pasadia Pengkarangan

(Persediaan Peralatan Upacara) Mempersiapkan alat upacara seperti peralatan makan, peralatan tidur. Biasanya peralatan makan sudah ada di dalam kelompok masyarakat, persediaanya oleh semua anggota kelompok sehingga peralatan tersebut bisa dipinjamkan oleh semua anggota yang membutuhkan. Dalam kaitan dengan peralatan upacara misalnya perhiasan-perhiasan, alat saji. Peralatan-peralatan upacara yang tidak boleh kurang dari semestinya seperti tombi-tombi, gendang, bombongan dan beberapa macam pandel atau bendera upacara. Termasuk dalam persiapan ini adalah persiapan tau-tau (patung orang yang meninggal) bagi orang mampu.

PUNCAK PERTAMA UPACARA RAMBU SOLO’

Ma’Pasurruk

Ma’pasurruk adalah kegaiatan mengarak kerbau (tedong) sekitar lokasi tempat pelaksanaan upacara sebanyak tiga kali dan pertemuan keluarga yang bertujuan untuk mengevaluasi kembali hasil musyawarah keluarga sebelumnya, utamanya berkaitan dengan kesanggu-pannya untuk menyediakan hewan kurban berupa kerbau, meliputi kesiapan pihak keluarga baik dalam hubungan keluarga secara vertikal maupun secara horizontal. Hubungan vertikal misalnya kesiapan anak untuk orang tuanya (ibu dan ayah) apabila yang meninggal adalah orang tuanya dan sebaliknya orangtua apabila anaknya yang meninggal. Sedangkan hubungan horizontal, yakni hubungan saudara kandung atau keluarga dari pihak ayah dan ibu. Pada tahap mengarak semua kerbau yang telah disiapkan oleh pihak keluarga, mengelilingi Tongkonan dimana almarhum disemayamkan atau tempat pelaksanaan upacara. Pada upacara itu dipotong dua ekor kerbau yang kemudian dagingnya dibagikan kepada para penggembala kerbau. Pemotongan dan pembagian itu dilakukan oleh To Parengge dan Ambe Tondok. Kegiatan itu, dalam urut-urutan upacara Rambu Solo’ pada dasarnya masih rangkaian menghadapi Aluk Palao atau Upacara pemakaman kedua. Ada kegiatan dalam acara Ma’Pasulluk yaitu pemberian nama bagi kerbau yang disediakan oleh pihak keluarga. Pemberian nama itu, berkaitan dengan sebutan nantinya pada saat pelaksanaan Ma’pasilaga tedong (adu kerbau). Pemberian nama itu biasanya diberikan oleh masing-masing pemiliknya. Fungsi pemotongan kerbau, disamping sebagai makanan bagi semua tamu yang

hadir.

Mangriu’ batu-Mesimbuang

Mangriu’ batu merupakan cara menarik batu simbuang dari tempatnya ke lapangan upacara. Batu simbuang mempunyai fungsi praktis yaitu tempat mengikat kerbau dan sebagai simbol telah mengadakan upacara. Pekerjaan itu dilakukan oleh berpuluh-puluh orang bahkan ratusan orang secara gotong royong. Pada acara itu dipotong seekor kerbau dan dua ekor babi. Fungsinya disamping sebagai sajian juga sebagai makanan bagi semua yang hadir. Batu itu kemudian ditanam di tengah lapangan tempat akan dilaksanakannya upacara yang kemudian dikenal dengan nama Simbuang Batu (menhir). Kegiatan itu juga biasa disebut Mesimbuang. Pengadaan batu simbuang kurang lebih ada 24 ekor kerbau yang disediakan oleh keluarga, apabila tidak memenuhi maka pada tahap ini ditiadakan. Kegiatan itu dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan mengambil pohon ijuk, pohon pinang, pohon lambiri dan pohon kadingi dari suatu tempat untuk dibawa ke Rante. Pohon tersebut ditanam disamping batu menhir yang nantinya digunakan sebagai tempat menambat kerbau setelah acara Ma’pasonglo. Kegunaan simbuang batu (menhir) yaitu sebagai lambang bagi si mati, sekaligus untuk mengingatkan generasi dari si mati bahwa nenek moyang mereka pernah melaksanakan upacara, dan sebagai upaya agar generasi selanjutnya tidak melupakan dan tetap menghormati tradisi para leluhur. Pohon ijuk nantinya digunakan sebagai tempat menambat Parepe (tedong balian). Pada saat pemotongan kepala kerbau itu akan diberikan kepada Tongkonan Sokkong Bayu (tongkonan utama dan tempat pelaksanaan upacara. Pada hari yang sama juga dilakukan kegiatan Mebala’kaan yaitu mendirikan pondok di tengah rante atau lapangan dengan tinggi tiang dua sampai tiga meter. Tiang dari tiang kapok. Pondok yang disebut Bala’kan itu akan digunakan sebagai tempat pembagian daging saat ma’ pasonglo dan pada allo katongkonan juga berfungsi sebagai tempat To Minaa berbicara pada saat acara Ma’pasa Tedong. Tanduk kerbau yang telah dipotong akan kumpulkan untuk ditempelkan secara bersusun pada tiang utama depan rumah Tongkonan dari yang meninggal. Tanduk kerbau tersebut melambangkan bahwa anggota dari Tongkonan telah melaksanakan upacara.

Ma’Pasa Tedong

Ma’ pasa tedong adalah kegiatan perarakan kerbau yang disumbangkan oleh keluarga disekitar pelaksanaan upacara. Semua kerbau yang disumbangkan oleh pihak keluarga dikumpulkan kembali di halaman lokasi tempat persemayaman almarhum/almarhumah yang akan diupacarakan. Dalam acara tersebut, sesuai dengan istilah yang digunakan untuk kegiatan tersebut Ma’ pasa tedong yang secara bahasa berarti pasar kerbau, dilakukan penilaian terhadap kerbau yang sudah ada. Pada saat itu juga To Minaa (pemimpin upacara) menyebutkan kerbau dan pemilikny dari atas Balakaan. Tujuan dari ma’ pasa tedong untuk mengumpulkan kerbau yang disumbang keluarga kemudian kerbau tersebut akan diberikan nama sesuai keinginan dari pengembala kerbau, setelah itu akan diarahkan ke satu tempat lalu kerbau tersebut diadu.

Ma’Pellao Alang

Ma’pello Alang adalah kegiatan memindahkan jenazah dari tongkonan dimana almarhum disemayamkan ke salah satu lumbung yang ada dalam lokasi tongkonan tersebut. Jenazah tersebut disemayamkan selama tiga hari tiga malam diatas lumbung sampai acara Ma’pasonglo dimulai. Sebelum dilakukan acara ma’papengkalao, didahului dengan ibadah yang dipimpin oleh saksi ibadah yang telah ditunjuk dalam kepanitian sebelumnya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama jenazah berada di lumbung, yakni dilakukan kegiatan ma’damanni yaitu pemberian dekorasi atau aksesoris di sekitar peti jenazah. Dalam upacara tersebut dipotong satu ekor babi. Tahap kedua (aluk rante) Pada tahap ini dilaksanakan dengan beberapa prosesi, yaitu: a) Mangisi Lantang Mangisi lantang yaitu mengisi pondok-pondok upacara yang telah disiapkan sebelumnya. Pondok (lantang) terdiri dari a. Pondok Penerimaan Tamu (Lantang Karampuan), merupakan pondok yang menampung para tamu dari berbagai kerabat atau keluarga yang tiba dari berbagai tempat. Baik keluarga dari pihak bapak maupun dari pihak ibu b. Pondok Keluarga (Lantang Keluarga), merupakan pondok tersendiri dari keluarga si mati baik dari pihak ayah atau ibu yang telah dibagi sesuatu kesepakatan keluarga. c. Lumbung Padi (Alang) merupakan tempat duduk untuk para pemangku adat, tokoh agama, pemerintah setempat. Pihak keluarga yang telah disediakan pondok harus menempati masing-masing. Keluarga yang hadir dan menempati pondok-pondok yang telah disediakan juga membawa persediaan peralatan memasak, bahan makanan, peralatan tidur selama acara pemakaman berlangsung. Rangkaian dari acara mangisi pondok oleh pihak keluarga yang membutuhkan waktu sekitar dua hari juga dilakukan kegiatan kebaktian atau ibadah di halaman tongkonan pada sore hari. Pada acara tersebut pihak keluarga memotong ekor kerbau dan satu babi.

PUNCAK KEDUA UPACARA RAMBU SOLO’

Ma’palao atau Ma’pasonglo

Acara selanjutnya adalah acara ma’palao dan ma’pasonglo. Ma’ palao yaitu memindahkan jenazah dari lumbung ke lapangan tempat pelaksanaan upacara dengan iringan araka-arakan khas masyarakat Toraja. Setelah sampai dilapangan, kerbau dipotong dengan ditebas langsung langsung dileher oleh orang tertentu. Kemudian daging dari kerbau tersebut dibagikan kepada masyarakat. Ma’pasonglo artinya memindahkan jenazah dari lumbung ke lakkian atau bala’kaan yang terletak di lokasi rante atau lapangan. Dalam acara itu didahului dengan kegiatan ibadah kemudian dilanjutkan dengan makan bersama, diikuti oleh arakarakan dengan membawa alat-alat upacara, antara lain:

  • Bombongan atau gong berada paling depan yang dipikul dan dibunyikan secara berirama.
  • Tombi atau bendera yang disediakan oleh keluarga sesuai dengan jumlah kerbau yang disediakan pihak keluarga.
  • Kaseda merupakan kain merah yang diikat pada saringanuntuk tempat berlindung keluarga.
  • Kerbau, paling depan adalah kerbau Balea/merah (Parepe) yang dihiasi dengan kain Maa’ di atas punggungnya disusul dengan kerbau belang (tedong bonga atau saleko), kerbau pudu’ dan lain-lain.
  • Saringan yaitu usungan peti jenazah yang menyerupai Tongkonan (rumah adat Toraja)
  • Bullean tau-tau, yaitu usungan patung. Arak-arakan itu kemudian secara teratur menuju lapangan atau rante tempat pelaksanaan upacara pemakaman. Pada acara itu dilakukan pemotongan satu ekor kerbau di rante.

Allo Katongkonan (Penerimaan Tamu)

Allo Ka tongkonan adalah hari dimana pihak keluarga yang berduka menerima tamu-tamu baik keluarga maupun kerabat lain yang datang dalam pelaksanaan upacara pemakaman. Penerimaan tamu yang dimaksudkan disini adalah penerimaan secara adat. Penerimaan khusus itu dilakukan, karena juga dilakukan pencatatan barang bawaan keluarga yang baik berupa benda lain seperti makanan dan lain-lain. Penerimaan tamu dengan mencatat barang bawaannya, dilakukan oleh panitia ditempat penerimaan tamu. Penerimaan dan pencatatan itu biasanya dilakukan ditempat yang menyerupai pos. Setelah proses registrasi atau pencatatan selesai, para tamu diarahkan untuk memasuki pondok atau orang Toraja sering menyebutnya lantang karampoan dan masuk secara bergiliran. Gotong royong dari keluarga yang berduka maupun masyarkat setempat dapat dilihat secara langsung dimana para ibu-ibu saling membantu didapur misalnya membantu mencuci piring, memasak nasi juga untuk menyediakan dan menyuguhkan kopi dan beraneka kue kepada para tamu yang telah hadir, masyarakat Toraja menyebutnya (to ma’ pakopi), biasanya to ma’ pakopi menggunakan baju seragam. Selain itu ada ibu-ibu yang bertugas menyediakan sirih untuk diberikan kepada tamu (pangan) pada masyarakat Toraja lebih dikenal to ma’ papangan. Ma’papangngan merupakan kegiatan menyuguhkan sirih, pinang dan permen secara tertib dan teratur dengan menggunakan sepu’ dan laki-laki memberikan rokok kepada tamu yang hadir. Dapat terlihat pula perempuan dan laki-laki sama-sama berperan pada saat upacara rambu solo’ berlangsung (menerima tamu). Setelah bertugas akan kembali ke pondok khusus yang telah disediakan, ketika diberi tanda oleh petugas upacara dengan membunyikan katto’ ( berupa potongan bambu yang sala satu sisinya diberi lubang). Jika yang bertugas ma’papangngan meninggalkan tempat tamu, petugas upacara akan memberi arahan kepada yang bertugas ma’pairuk atau ma’ pakopi untuk menyuguhkan minuman dan aneka kue untuk memasuki lantang karampoan dan dibantu oleh para laki-laki membawah gelas, ceret yang berisi kopi maupun teh.

Dalam Upacara Mantarima Tamu atau Allo Katongkonan, para tamu akan disambut secara adat, antara lain:

a. Tari Maranding
Tari Ma’randing adalah tarian tradisional dari daerah Sulawesi Selatan. Tari ini dipentaskan pada pemakaman besar (biasanya orang dengan kasta tinggi). Kata Ma’randing sendiri berasal dari kata randing yang berarti “mulia ketika melewatkan”. Jika diamati lebih jauh, tari ini menunjukkan kemampuan dalam memakai senjata tradisional Sulawesi Selatan dan menunjukkan keteguhan hati serta kekuatan seseorang yang meninggal selama hidupnya. Para penari menggunakan pakaian dan alat perang tradisional. Tari ini dikenal sebagai tari partriotik atau tari perang. Pada pementasannya, tarian Ma’randing dibawakan oleh beberapa orang yang setiap orangnya membawa perisai besar, pedang dan sejumlah ornamen. Setiap objek menyimbolkan beberapa makna. Perisai yang dibuat dari kulit kerbau (bulalang) menyimbolkan kekayaan, karena hanya orang kaya yang memiliki kerbau sendiri. Pedang (doke, la’bo’ bulange, la’bo’ pinai, la’bo’ todolo) menunjukkan kesiapa untuk perang, yang menyimbolkan keberanian.
b. Ma’badong 
Ma`badong sendiri adalah sebuah bentuk tradisional yang hanya boleh ditarikan dalam ritual pemakaman. Tarian ini berupa tarian tanpa musik yang didalamnya berisi syair-syair pujian yang ditujukan kepada orang yang meninggal. Tak sekadar pelantunan sajak mengenai orang yang meninggal, namun lebih dari itu, Ma`badong juga menggambarkan sesuatu yang lebih dalam dari itu. Gambaran mengenai kebudayaan orang Toraja tergambar dalam ritual ini, antara lain nilai spiritual, nilai sosial hingga hubungan antar kelompok dalam masyarakat Toraja. Sedangkan Rambu Solo` adalah sebuah proses pemakaman tradisional masyarakat Tana Toraja yang sangat berbeda dari upacara pemakaman pada umumnya. Dengan melihat upacara ini, Sahabat bisa melihat bahwa masyarakat Tana Toraja sangat menghormati leluhurnya. Upacara Rambu Solo` masih tetap dipertahankan oleh masyarakat asli Toraja, Secara garis besar, upacara Rambu Solo` terdiri dalam dua prosesi besar, yakni prosesi pemakaman dan pertunjukan kesenian. Dua prosesi ini bukan merupakan acara terpisah, namun serangkaian prosesi yang saling melengkapi satu sama lain.
c. Pa’marakka’ 
Pa' Marakka adalah Nyayian Kedukaan. Syair-syair lagu yang dinyanyikan mengungkapkan rasa sedih atau tangisan kepada seseorang yang  telah meninggal. Sebagai wujud cinta kasih keluarga kepada seseorang yang telah meninggal maka sepanjang acara Rambu Solo'  Pa' Marakka yang diiringi oleh alunan suara suling Lembang setiap saat dilaksanakan.
d. Gora-Gora Tongkon / Kada-Kada Tominaa
Gora-Gora tongkon ada banyak jenisnya, pada dasarnya gora-gora tongkon atau kada-kada to minaa dilapalkan oleh pemangku agama alukta atau aluk todolo, dengan menggunakan bahasa sastra tinggi toraja klasik.
e. Ma'lambuk Pare
Ma'lambuk pare adalah prosesi tumbuk lesung dengan musik=musik tertentu yang dilakukan oleh wanita paruh baya.

Allo Katorroan (Hari Istirahat)

Allo katorroan adalah waktu yang tidak melakukan aktifitas upacara. Allo katorroan sendiri hari istirahat. Acara penting pada hari itu, adalah membicarakan persiapan acara puncak pemakaman yang dilakukan oleh pihak keluarga dan panitia. Pembicaraan itu meliputi persiapan upacara Mantaa Padang (Mantunu), yaitu puncak upacara pemakaman. Pada saat itu disepakati kembali mengenai jumlah kerbau yang akan dipotong dan hal-hal lain yang berkaitan dengan upacara puncak pemakaman yang disebut mantaa.

Mantaa Padang / Ma’tinggoro Tedong / Mantunu Tedong

Manta Padang merupakan puncak pelaksanaan upacara pemakaman, yaitu dengan memotong hewan yaitu kerbau (tedong) sesuai kesepakatan sebelumnya. Hewan yang telah disediakan oleh pihak keluarga pada hari itu dagingnya dibagi secara adat, yakni bagian-bagian tertentu dari daging tersebut merupakan bagian bagi orang atau keluarga dari keturunan tertentu. Pembagian itu juga terkait dengan tugas masingmasing orang dalam upacara tersebut. Acara pembagian daging itu dilakukan oleh Toparengnge atau Ambe Tondok bersama panitia yang disebut seksi-seksi Ma’lalan Ada’. Ma’lalan Ada’ adalah orang yang bertugas membagikan daging sesuai peruntukkan dan hubungan kekerabatan orang yang diupacarakan, diperuntukkan bagi pembangunan rumah ibadah, pembangunan desa dan fasilitas umum dalam masyarakat dan diberikan dalam bentuk hidup, walaupun secara simbolik sudah dinyatakan telah dikurbankan atau dipotong.

Ma Aa / Makaburu’ / Penguburan

Ma Aa adalah akhir dari rangkaian acara pemakaman. Kegiatannya adalah pemakaman jenazah yang diupacarakan, dengan urutan sebagi berikut:

  • Penurunan jenazah dari Lakkian. Setelah rangkaian upacara rambu solo’ selesai jenazah diturunkan dari lakkian, merupakan pondok tertinggi dari pondok lainnya untuk menempatkan jenazah selama pelaksanaan upacara.
  • Ibadah pemakaman. Setelah jenazah diturunkan, diadakan ibadah pemakaman yang dipimpin oleh tokoh agama setempat. Pada susunan ibadah para jemaat, keluarga, kelompokkelompok masyarakat menghibur keluarga dengan pujian-pujian untuk menguatkan keluarga yang berduka.
  • Ungkapann belasungkawa, Ungkapan belasungkawa dalam hal ini dari keluarga setempat, para tokoh agama yang mewakili, tokoh adat serta kerabat.
  • Ucapan terima kasih dari keluarga
  • Pemakaman jenazah ke tempat yang telah disepakati keluarga. Tempat pemakaman sekarang ini sudah banyak di patane (wadah pemakaman yang berbahan tembok).[bp]