Berdasarkan dari peninggalan arkeologis yang terdapat di wilayah Jeneponto, dapat di buktikan bahwa jejak kehidupan manusia telah ada sejak ...
Berdasarkan dari peninggalan arkeologis yang terdapat di wilayah Jeneponto, dapat di buktikan bahwa jejak kehidupan manusia telah ada sejak zaman prasejarah Jeneponto. Hal ini dibuktikan dengan adanya temuan alat-alat batu yang diduga berasal dari zaman Mesolitik. Temuan-temuan tersebut berada di wilayah Situs Karama dan Situs Kalimporo.
Akan tetapi, rekontruksi sejarah Jeneponto terputus dari zaman Prasejarah ke zaman Sejarah atau yang lebih dikenal dengan Proto Sejarah karena masih kurangnya penelitian yang dilakukan di wilayah ini. Sejarah Jeneponto kemudian menjadi jelas ketika munculnya dua kerajaan yang diperkirakan awal abad ke-14 yaitu Kerajaan Binamu di Timur dan Kerajaan Bangkala di Barat. Pada masa yang hampir bersamaan, dua kekuatan politis yaitu Kerajaan Bangkala dan Kerajaan Binamu muncul dan memainkan peran signifikan dalam konteks sejarah Sulawesi Selatan. Keduanya distimulasi oleh keletakannya yang masing-masing menempati lembah yang subur.
Kerajaan Bangkala menempati seperdua dari wilayah Jeneponto
sekarang. Sejarah munculnya Kerajaan Bangkala diawali oleh adanya daerah inti
yang berpusat di Bangkala yang menempati Lembah Topa dengan Sungai Topa sebagai
stimulan penting. Berdasarkan peta Belanda tahun 1920, jelas terlihat bahwa
konsentrasi areal persawahan berpusat di Bangkala. Kerajaan Bangkala kemudian
memiliki tujuh palili (tributaries) seperti Tanatoa, Pallenguq, Mallosoro,
Garasikang, Nasaraq, Ruku-ruku dan Laikang dan delapan daerah yang diperintah langsung
(domain) yaitu Pattoppakang, Panyalangkang, Punaga, Canraigo, Cikoang,
Pangkajeqne, Baraqna dan Beroanging.
Jadi wilayah kekuasaan Kerajaan Bangkala adalah sepanjang Sungai
Cikoang di sebelah Barat, sepanjang Sungai Topa di tengah dan sepanjang Sungai
Allu di timur. Komposisi Kerajaan Bangkala seperti di atas mungkin terbentuk
pada abad ke 17. Kerajaan Binamu biasa juga disebut Turatea, menempati lebih
dari seperdua Kabupaten Jeneponto sekarang.
Kerajaan Binamu memiliki dua sungai besar yaitu Sungai
Jeneponto di sebelah timur dan Sungai Tamanroya di sebelah Barat. Kedua sungai
tersebut telah merangsang munculnya Binamu menjadi salah satu pusat di pesisir
selatan Sulawesi Selatan. Dua tradisi lisan yang berisi cerita tentang asal
mula Binamu menyatakan bahwa Binamu pertama berasal dari Lembah Tamanroya, tepatnya
di Layu. Mitos Tomanurung sangat kuat melegitimasi Layu sebagai tempat yang sangat
penting dan merupakan tempat turunnya Tomanurung. Empat pemimpin dari Jejak
Akulturasi dan Sinkritisme di Kompleks Makam Raja-Raja Binamu Jeneponto: Toddo
Appaka (Bangkala Loe, Layu, Batujala, Lentu) yang merupakan kekuatan penting
kemudian mengadakan musyawarah dan mengangkat Tomanurung sebagai raja pertama
Binamu. Peristiwa penyatuan empat kekuatan tersebut menandai awal munculnya
Kerajaan Binamu.
Perjalanan sejarah kedua kerajaan tersebut tidak bisa
dilepaskan dari kondisi Kerajaan Gowa sebagai sebuah kerajaan yang paling
berpengaruh dan sebagai pusat kekuasaan di Sulawesi Selatan.Posisi Kerajaan
Gowa yang sangat strategis yakni sebagai jalur perdagangan di Nusantara bagian
utara dan mengembangkan Makassar sebagai pusat perdagangannya.
Hal ini kemudian membuat Armada Dagang Belanda untuk
menjalin hubungan dagang dengan Kerajaan Gowa. Atas izin Sultan Alauddin, Kompeni
diizinkan mendirikan sebuah kantor dagang di Makssar pada tahun 1601.
Dalam perjalanan selanjutnya, karena adanya keinginan
Belanda untuk memonopoli perdagangan tersebut membuat raja Gowa pada waktu itu menolak
keinginan Belanda sehingga terjadi beberapa kali peperangan. Puncak dari
peperangan tersebut yang dikenal dengan nama Perang Makassar berakhir pada tahun
1667 dengan menghasilkan suatu perjanjian yang disebut Perjanjian Bungaya.
Akibat dari perjanjian ini, Kerajaan Makassar kehilangan sebagian besar bahkan seluruhnya
kerajaan-kerajaan yang pernah mengakui dan berada di bawah kekuasaanya.
Daerah-daerah ini dinyatakan berada di bawah kekuasaan
Belanda dan merupakan daerah kekuasaan langsung kecuali Binamu, Bangkala dan
Laikang yang berkedudukan sebagai kerajaan pinjaman dari Kerajaan Bone.Walaupun
demikian pada kenyataannya daerahdaerah yang berada di bawah kekuasaan langsung
tersebut tetap berada di bawah kekuasaan penguasapenguasa setempat. Kondisi ini
berlangsung hingga akhir abad ke-18 (Desember 1799) disebut sebagai masa “Perjanjian
Kekuasaan”.
Akan tetapi pada tahun 1863, Pemerintah Hindia Belanda
melancarkan penyerangan terhadap Konfederasi Binamu dan Bangkala yang waktu itu
berkedudukan sebagai sekutu. Penyorobotan itu didalihkan karena rakyat Binamu
dan Bangkala sering melakukan perampokan, pencurian hewan, membunuh pegawai
Belanda dan perampokan di daerah pesisir. Hal ini jelas menunjukkan bahwa
situasi pada kedua daerah sedang mengalami kekacauan sehingga untuk mengendalikan
kekacauan tersebut Pemerintah Hindia Belanda menyerang dan meduduki langsung di
bawah kekuasaannya sebagaimana daerah-daerah lainnya.
Akan tetapi pendudukan secara langsung ini baru benar-benar
terjadi pada awal abad ke-20 ketika Pemerintah Hindia Belanda mengirimkan
pasukan pendudukan Sulawesi Selatan (Zuid Celebes Expeditie). Hal ini ditandai dengan
penandatanganan Pernyataan Pendek (Pada dasarnya isi Pernyataan Pendek memuat
ga pokok pernyataan dari penandatanganan, yaitu kesediaan menyerahkan
kekuasaannya, dan menjadi bawahan Pemerintah Hindia Belanda, patuh dan taat
pada peraturan dari Pemerintah Hindia Belanda dan bersedia meniadakan kekuatan militernya,
oleh tu'mailalang towa dan anggota dewan Bate Salapang.
Pada tahun 1906 Sulawesi Selatan secara keseluruhan telah
berada langsung di bawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda, berdasarkan
pernyataan pendek. Setelah penandatanganan perjanjian tersebut, wilayah
Sulawesi Selatan dan Tenggara dijadikan satu wilayah pemerintahan yang dikenal
dengan pemerintahan Pemerintahan Sulawesi dan daerah Bawahan (Gouvernement Celebes
en Onderhoorigheden). Wilayah itu dibagi ke dalam tujuh bagian pemerintahan
(afdeling) yaitu: Makassar, Bonthain, Bone, Pare-Pare, Luwu, Mandar dan Buton
dan Pesisir Timur Sulawesi (Boeton en Oostkust Celebes) secara resmi pada tahun
1911. Kepala pemerintahan diembankan kepada seorang pejabat pemerintahan yang disebut
gubernur (gouverneur).Dibagian pemerintahan (afdeling) ditempatkan seorang
asisten residen (assistant resident) yang berkedudukan sebagai pimpinan
pemerintahan di wilayah itu. Bagian pemerintahan dibagi kedalam beberapa cabang
pemerintahan (onderafdeling). Pada setiap cabang pemerintahan ditempatkan seorang
kontrolir (controleur) untuk melaksanakan pemerintahan dan kekuasaan.
Nampaknya selama masa pemerintahan Pemerintah Hindia
Belanda, Onderafdeling Jeneponto dan Onderafdeling Takalar digabung menjadi satu
onderafdeling dengan nama onderafdeling Jeneponto-Takalar atau yang lebih
dikenal dengan nama Jentak dan berada di bawah Afdeling Selatan atau Bonthain
(Bantaeng). Penyatuan ini berlangsung sampai pada tahun 1942 ketika kekuasaan
Belanda berakhir dan digantikan oleh Jepang.Masa pemerintahan Jepang di Jeneponto
hanya berlangsung selama tiga tahun yakni berakhir pada tahun 1945 ketika bangsa
Indonesia memproklamirkan kemerdekaan.
Kalau diperhatikan beberapa uraian di atas, kata Jeneponto
belum dikenal pada masa itu. Masa ini hanya menyebutkan bahwa dua daerah adat
gemeenschap yakni Binamu dan Bangkala dan beberapa adat gemeenschap lainnya yang
merupakan cikal bakal Kabupaten Jeneponto.Berdasarkan dari catatan sejarah,
kata 'Jeneponto' mulai muncul pada masa pemerintahan Gubernur Sulawesi W.
Frijling (1916-1921). Di sini disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Gubernur
Sulawesi dan Daerah Taklukannya W. Frijling nama afdeling selatan Bonthain
dirubah menjadi Afdeling Bonthain dengan daerah onderafdeling di bawahnya. meliputi:
Onderafdeling Bulukumba, semula onderafdeling Turatea di rubah menjadi
onderafdeling Jeneponto, onderafdeling Sinjai, dan onderafdeling Selayar (Inventarisasi
Arsip Pemda Tk. II Jeneponto 1910-1969 volume I).
Dengan berakhirnya masa penjajahan tersebut, bentuk
pemerintahan sebelumnya tidak secara serta merta diubah. Bentuk pemerintahan
ini berlangsung hingga beberapa tahun pasca kemerdekaan dengan penguasanya
diambill golongan bangsawan tiap-tiap daerah. Hal ini dibuktikan dengan masih
digunakannya istilah onderafdeling dan adatgemeenschap yang merupakan istilah-istilah
yang digunakan masa pemerintahan Hindia Belanda. Di Jeneponto misalnya
khususnya Binamu, kepala pemerintahannya yaitu Sampara Daeng Lili yang berkuasa
dari tahun 1946 – 1949, keterangan ini diambil dari Memorie van Overgave
Bestuurshoofd Jeneponto Sampara Daeng Lili tahun 1949. Selain itu juga terjadi
perubahan daerah adat gemeenschap. Pasca kemerdekaan tersebut, adat gemeenschap
Jeneponto terdiri dari empat adat gemeenschap yaitu Binamu, Bangkala, Tarowang
dan Arungkeke. Pada masa pemerintahan tersebut di atas disebutkan bahwa Binamu
merupakan daerah penting untuk onderafdeling Jeneponto. Hal ini sebagaimana
yang dikatakan oleh Sampara Daeng Lili bahwa “Adatgemeenschap Binamu ini adalah
adatgemeenschap yang terpenting dari onderafdeling Jeneponto”.Hal ini juga juga
bisa dilhat dari jumlah penduduk dari keempat adatgemeenschap. Berdasarkan dari
catatan pada masa pendudukan Jepang tahun 1944 jumlah penduduk onderafdeling
Jeneponto terdiri dari:
- Binamu : 112.456 jiwa
- Bangkala : 23.616 jiwa
- Arungkeke : 6.173 jiwa
- Tarowang : 5.471 jiwa
Pada masa pemerintahan selanjutnya bentuk dan sistem
pemerintahan sepenuhnya dikuasai oleh penduduk pribumi. Segala aturan disesuaikan
dengan aturan yang diberlakukan oleh pemerintah Indonesia, sehingga tidak ada
lagi campur tangan dari pihak asing. Dalam masa ini, pusat pemerintahan dipindah
kan ke daerah Bonto Sungguh dari tempat sebelumnya yang terletak di Kelurahan
Monro-Monro dan sekitarnya dalam kecamatan yang sama yaitu Kecamatan Binamu
atau berpindah ± 3 km ke arah Timur Laut. Hal ini tentunya dengan berbagai
pertimbangan, baik pertimbangan secara politis maupun pertimbangan lingkungan.[bp]
COMMENTS