Kekalahan Kerajaan Gowa-Tallo di bawah Sultan Hasanuddin melawan VOC membuat banyak bangsawan dan pangeran dari kerajaan tersebut meninggalkan Makassar. Salah satunya adalah Karaeng Galesong yang pergi dari Makassar untuk berangkat ke barat melanjutkan perlawanan melawan penjajah VOC. Karaeng Galesong sendiri merupakan seorang pangeran anak penguasa Kerajaan Gowa-Tallo ke- 16 di Makassar yakni I Mallombasi Daeng Mattawang Muhammad Baqir Karaeng Bonto Mangngape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla'pangkana alias Sultan Hasanuddin.
Karaeng Galesong sendiri lahir di daerah di Bonto Majannang,
Sinoa, Bantaeng, Sulawesi Selatan, Senin 29 Maret 1655 bertepatan 20 Jumadal
Awwal 1065 H dari rahim I Hatijah I L'omo Tobo yang merupakan istri keempat
Sultan Hasanuddin. Ia sendiri lahir dengan nama I Maninrori. Nama Karaeng
Galesong sendiri diberikan setelah dewasa. Gelarnya saat dewasa yakni I
Maninrori I Kare Tojeng Karaeng Galesong. Karaeng sendiri adalah gelar
bangsawan Makassar, sementara Galesong adalah salah satu wilayah kekuasaan
Kerajaan Gowa-Tallo. Setelah dewasa, ia kemudian membantu ayahnya sebagai salah
satu panglima perang Kerajaan Gowa-Tallo Makassar melawan VOC.
Bahkan, oleh sang ayah Sultan Hasanuddin, ia diserahi
jabatan sebagai panglima Angkatan Laut Kerajaan Gowa-Tallo Makassar dengan
pangkat laksamana. Hanya saja, dalam Perang Makassar tersebut, Kerajaan
Gowa-Tallo dipaksa tunduk usai kalah melalui Perjanjian Bongaya ditandatangani
Sultan Hasanuddin. Perjanjian ini adalah perjanjian perdamaian yang
ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya antara Kesultanan Gowa
yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan pihak VOC yang diwakili oleh Laksamana
Cornelis Speelman. Meski disebut perjanjian perdamaian, isi sebenarnya adalah
deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni), serta pengesahan monopoli oleh VOC
untuk perdagangan sejumlah barang di pelabuhan Makassar (yang dikuasai Gowa). Kecewa
dengan hasil perjanjian tersebut, Karaeng Galesong kemudian memutuskan untuk
meninggalkan Makassar tepat empat tahun setelah perjanjian tersebut
ditandatangani. Bersama para pasukannya yang masih setia kepadanya, Karaeng
Galesong berlayar ke arah barat, tepatnya di tanah Jawa. Ia dan pasukannya
pertama bersandar di pelabuhan Kesultanan Banten pada bulan Oktober 1671.Di sana, Karaeng Galesong
membantu penguasa Banten yakni Sultan Ageng Tirtayasa dalam melawan VOC.
Pasukan Karaeng Galesong pun seringkali membuat VOC
kesulitan dalam melumpuhkan pasukan Banten. Mendengar kedigdayaan pasukan
Karaeng Galesong di Banten, mertua Raden Trunojoyo yakni Raden Kajoran atau
Panembahan Rama mendatanginya untuk meminta bantuan Karaeng Galesong. Saat itu,
sang menantu Raden Trunojoyo sedang menyusun perlawanan untuk memberontak
kepada penguasa Jawa yang sah yakni Sri Susuhunan Amangkurat I yang menjadi
penguasa Kerajaan atau Kesultanan Mataram Islam yang mendapat sokongan dari
VOC. Raden Kajoran meminta kepada Karaeng Galesong untuk membantu Raden
Trunojoyo dari Madura melawan dominasi VOC di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mendengar
permintaan kubu Trunojoyo tersebut, Karaeng Galesong langsung menyetujuinya. Bahkan,
persekutuan Makassar-Jawa-Madura ini mampu mendominasi sejumlah kota-kota besar
di pesisir Jawa, khususnya Jawa Tengah Bagian Timur dan Jawa Timur.
Namun, Belanda bersama pasukan Kesultanan Mataram Islam yang
masih setia dengan Sri Susuhunan Amangkurat I itu pada Mei 1676, akhirnya
berhasil menguasai daerah-daerah yang sebelumnya jatuh ke tangan pasukan Karaeng
Galesong dan Trunojoyo. Kondisi ini memaksa Karaeng Galesong melarikan diri ke
Madura yang merupakan basis kekuatan Trunojoyo. Kemudian mendapat serangan dari
pasukan aliansi Mataram-VOC, Karaeng Galesong dan Trunojoyo mencoba menyerang
kembali Jawa Timur menggunakan pasukan gabungan dari Madura, Makassar, dan
Surabaya berkekuatan 9.000 tentara.
Pada Oktober 1676, aliansi Mataram dan Belanda dapat
dikalahkan dalam Pertempuran Gegodog, diikuti dengan serangkaian kemenangan di
pihak Trunojoyo dan Karaeng Galesong. Namun, meski berhasil meraih kemenangan,
Karaeng Galesong dan Trunojoyo justru berselisih. Pada akhir 1676, perselisihan
itu telah berkembang menjadi konflik terbuka di antara pengikutnya. Karaeng
Galesong kemudian memilih untuk menetap di Pasuruan dan tidak membantu
Trunojoyo ketika Surabaya diambil alih oleh VOC pada Mei 1677.
Bahkan ia sempat goyah dan memihak VOC-Mataram. Namun,
Karaeng Galesong dan 800 pengikutnya segera memutuskan hubungan dengan VOC dan
mendirikan benteng di Keper, Jawa Timur. Akhir hidup Pada Oktober 1679, tentara VOC
berhasil merebut benteng pasukan Karaeng Galesong setelah pengepungan selama
lima minggu. Dalam keadaan sakit, Karaeng Galesong melarikan diri dengan 60
pengikutnya untuk bergabung kembali dengan Trunojoyo. Karaeng Galesong akhirnya
meninggal pada 21 November 1679, dan kemudian dimakamkan di Ngantang, Kabupaten
Malang, Jawa Timur.[bp]
Ikuti Kami di: