Sejarah Transmigran Jawa di Wonomulyo Mandar Sejak Zaman Kolonial Belanda

Sejarah Transmigran Jawa di Wonomulyo Mandar Sejak Zaman Kolonial Belanda - Para kolonis gelombang pertama yang berasal dari berbagai daerah di Pulau Jawa, diangkut dengan kapal KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) dan tiba di dermaga Polewali pada 1 September 1937. Para kolonis itu terdiri atas 115 keluarga dengan 380 jiwa. Hal ini berarti tidak sesuai dengan target semula yang berjumlah 150 keluarga. Sesudah diregistrasi dan disuntik, mereka diangkut dengan mobil ke lokasi penempatan para kolonis di Mapilli. Setelah sampai pada tempat yang sudah disediakan, mereka diberi minum secangkir teh panas pada tengah hari dan makan nasi. Penduduk setempat terheran-heran melihat mereka, sehingga daerah itu dilarang dimasuki untuk sementara. Pada sore harinya, mereka menarik undian untuk memperoleh halaman rumah masing-masing, sesudah ditentukan pembagian kelompok dan kepada setiap kelompok diberi satu kempleks halaman rumah. Sementara tanah untuk persawahan, setengah hektar pertama baru ditentukan kemudian.

Lokasi para kolonis gelombang pertama tersebut, ditempatkan di dekat jalan raya Polewali – Majene. Daerah ini yang kemudian diberi nama Desa Sidodadi dipimpin langsung kepala rombongan R. Soeparman yang berasal dari Bojonegoro, Jawa Timur. Ia juga sebagai Asisten Wedana pertama Kolonisasi Mapilli. Selain memperoleh tanah, para kolonis juga memperoleh bahan makanan, perabotan masak, alat-alat pertanian, dan bibit tanaman yang diperlukan. Semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan para kolonis harus dibayar kembali dan mereka diberikan kelonggaran membayar secara cicilan selama tiga tahun. Singkatnya, semua harus dibayar kembali, termasuk ongkos perjalanan dan bahan-bahan lainnya kepada negara.

Kolonis gelombang kedua didatangkan ke Mapilli pada 1938, terdiri atas 710 keluarga dengan sejumlah 3.335 jiwa. Mereka ditempatkan di Desa Sumberjo, Campurjo, dan Sidorejo yang tidak jauh dari Desa Sidodadi dan dekat dengan jalan raya Polewali – Majene. Namun, para kolonis gelombang kedua dan gelombang-gelombang berikutnya hanya memperoleh tanah persawahan seperdua bouw pertama dan seperdua bouw berikutnya atau bukan lagi seperdua hektar.

 Sesungguhnya para kolonis dapat saja menggarap sawah lebih dari itu, tetapi dari kebanyakan di antara mereka satu bouw sudah sangat berat, dan ada juga di antara mereka yang menolak pemberian tambahan setengah bouw yang kedua, karena penggarapan yang pertama saja belum selesai.

Pada 1939 didatangkan lagi para kolonis ke Mapilli, terdiri atas 461 keluarga dengan sejumlah 1.862 jiwa. Para kolonis gelombang ketiga ini ditempatkan di Labuku (sekarang, Desa Bumiayu) sebagai tempat tinggal mereka yang baru). Terletak sekitar lima kilometer dari jalan raya (poros Polewali – Majene), menyusur jalanan mobil yang baru dibuat menuju selatan. Pemberangkatan kolonis selanjutnya dilakukan pada 1940. Kedatangan kolonis ini merupakan gelombang keempat atau kelompok terakhir ke Mapilli, terdiri atas 183 keluarga dengan sejumlah 913 jiwa. Mereka Satu bouw sama dengan sekitar 0,71 hektar atau sekitar 7.096,50 meter persegi ditempatkan di Desa Arjosari dan Kebunsari. Oleh karena itu, jumlah keseluruhan para kolonis di Mapilli pada akhir 1940 adalah 1.569 keluarga dengan sebanyak 5.470 jiwa.

 Para kolonis tersebut didatangakan dari berbagai daerah di Pulau Jawa, misalnya dari Jawa Timur (Jombang, Nganjuk, Kediri, Tulung Agung, Ponorogo, Ngawi, dan Pacitan); dari Jawa Tengah (Semarang, Magelang, Blora, Salatiga, Jepara, Purworejo, Kebumen, Kutoarjo, Bruno, Surakarta, dan Jogyakrta); dari Jawa Barat (Cirebon dan Kuningan). Mereka ditempatkan pada tujuh desa, yaitu Desa Sidodadi, Desa Sumberjo, Desa Campurjo, Desa Sidorejo, Desa Bumiayu, Desa Arjosari, dan Desa Kebunsari). Ketujuh desa ini dikenal sebagai daerah Kolonisasi Mapilli, setingkat dengan onder distrik yang dikepalai oleh seorang Asisten Wedana (R. Soeparman) yang berada di bawah langsung Penguasa Sipil (Gezachebber) Polewali. Asisten Wedana dibantu oleh beberapa tenaga terampil, misalnya tenaga pengajar (guru) dikepalai R. Mulyono, tenaga medis (kesehatan) dikepalai R. Subaker, Tenaga pertanian (land baw) dikepalai R. Sukiran), bidang pertanahan (mantri ukur) dikepalai Tahalele, dan tenaga terampil lainnya. Setahun setelah kedatangan para kolonis yang semula tinggal di sebuah rumah sederhana atau los-los yang dibangun secara tergesa-gesa, sebagian telah berhasil mengganti rumahnya secara berangsur-ansur yang lebih baik. Beberapa kolonis membangun rumah batu, tetapi kebanyakan masih rumah kayu.

Biasanya sebuah rumah dengan dinding bambu dan tiang-tiang dari kayu. Sementara tanah persawahan tercatat kurang lebih 500 hektar telah selesai dibangun atau dicetak pada 1940. Luas tanah persawahan tersebut baru sebagian kecil dari 4.500 hektar lahan yang diperuntukan bagi para kolonis di Mapilli.[bp]