Mappalili adalah sebuah bentuk kebudayan yang merupakan tradisi yang telah dilakukan sejak dahulu yang dilakukan pada setiap memasuki masa tanam padi dengan maksud agar tanamam padi terhindar dari kerusakan yang akan mengurangi produksi padi. Ritual ini dijalankan oleh para Pemimpin upacara Bugis Kuno yang dikenal dengan sebutan Bissu.
Waktu Pelaksaan Ritual Mapalili Segeri Pangkep 2022
Ritual adat Mappalili di Segeri Kabupaten Pangkep dilaksanakan setiap setiap tahun antara bulan November dan pada tahun ini dilaksanakan tanggal 14-16 Nopember 2022.
Tempat Pelaksaan Ritual Mapalili Segeri Pangkep 2022
Adapun tempat penyelenggaraan prosesi tradisi Mappalili ini dipusatkan pada rumah Arajang ( tempat menyimpan benda-benda pusaka ) yang terletak di Desa Bontomatene 200 meter dari jalan poros Segeri. Ritual adat Mappalili ini dilakukan dengan maksud ritual memulai tanam padi. Agar tanaman padi terhindar dari kerusakan.
Dengan maksud sebagai tanda Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa kerana berkat rahmat dan taufiknya masyarakat Segeri dapat hidup tentram, aman, dan cukup pangan sehingga dapat melaksanakan upacara adat untuk mengenang To manurung yang telah memberi petunjuk dan pedoman dalam mengatur kehidupan masyarakat Segeri. Adapun menurut keyakinan dan kepercayaan penduduk bahwa dengan mengadakan ritual adat Mappalili maka penduduk akan selamat dan mendapat berkah dari Tuhan.
Tahapan Mappalili Segeri Pangkep
Adapun runtutan prosesi ritual adat Mappalili di Segeri Kabupaten
Pangkep yaitu:
- Pertama, proses upacara diawali dengan “Mattedu Arajang (membangunkan pusaka yang dikeramatkan berupa bajak sawah) bajak sawah yang tergantung dilangit-langit ruangan penyimpanan, konon bajak sawah ini ditemukan secara gaib melalui mimpi. bajak dari kayu ini sudah ada sejak tahun 1305.
- Kedua, setelah Matteddu Arajang akan dilanjutkan dengan dengan Mappalesso Arajang Arajang diturunkan dari tempatnya ) Arajangdipindahkan disebuah ruang terbuka yang mirip pendopo, tujuh pemangku adat bersama sejumlah Bissu membopong benda pusaka yang berupa Bajak sawah keluar ruangan terbuka yang mirip pendopo, setelah Arajang dipindahkan kemudian dibuka dan dibaringkan seperti jenazah. Arajang ditutupi daun Pisang kemudian ujungnya diberi tumpukan beberapa ikat padi yang masih berbentuk bulir kemudian pada bagian atas tumpukan padi itu dipasangi payung khas Bugis.
- Ketiga, Mallekko Bulalle atau menjemput nenek. Belalle ini adalah nama orang dengan wujud tidak seperti manusia, yang tinggl di sebuah hutan. Penjemputan ini dilakukan di Pasar. Sebelum penjemputan dilakukan di Pasar terlebih dahulu menyiapkan beberapa bahan ritual.
- Keempat, Mallekke Uwae adalah proses setelah Arajang dipindahkan kemudian dilanjutkan dengan memandikan Arajang dengan air Suci yang diambil dari sungai Segeri. Air di ditempatkan didekat kepala dan kaki Arajang kemudian Puang matowa dan beberapa tokoh masyarakat memandikan Arajang . Saat memandikan Arajang . banyak masyarakat yang belomba-lomba untuk mengambil air dari bekas Arajang, mereka meyakini bahwa air tersebut bisa menjadi obat untuk tanaman padi.
- Kelima, pukul 19.00 WIB giliran para Bissu untuk melakukan tari Mabbissu atau Magiri. Mabbissu berasal dari kata Bissu yang mendapat awalan ma yang berarti melakukan tarian Bissu . Sementara Bissu berasal dari kata Bessi yang berarti bersih dan kuat. Puncak dari tari Mabbissu adalah Ma‟giri adalah tarian para Bissu dengan menusuk-nusukkan benda tajam di bagian tubuhnya seperti, mata, telapak tangan, leher, dan perut. Tari Ma‟giri merupakan tarian unik dengan mempergunakan sebilah keris pusaka yang mengandung unsur mistis didalamnya. Tari ini sudah berusia ratusan tahun Sebelum melakukan tari Ma’giri mereka berdandan semaksimal mungkin untuk tampil paling cantik. Pada saat upacara ritual pada jaman dahulu para Bissu memakai kostum berwarna kuning dan merah, sedangkan Puang Matowa memakai warna putih. Namun perkembangan jaman sekarang selain sebagai upacara ritual, atraksi Bissu juga sebagai sebuah pertunjukan. Sehingga untuk kostum dan asesoris yang dipergunakan semakin menarik, indah, dan lengkap. Warna kostum yang dipakai pun makin mencolok, walaupun itu untuk pakaian yang dikenakan oleh Puang Matowa (pua mtoa), sehingga tidak hanya warna putih saja.
- Kegiatan terakhir adalah mengarak arajang keliling kampung. Ini menjadi aba-aba bahwa waktunya untuk turun membajak sawah. Selain berkeliling kampung, arajang dibawa ke tengah sawah yang sekarang sudah menjadi kawasan empang. Arajang disentuhkan ke tanah, lengkap dengan sesembahan, termasuk menyembelih ayam, yang merupakan bagian dari sesembahan. Pada saat mengarak, setiap warga yang dilewati bisa menyiramkan air ke rombongan pengarak Arajang . Kegiatan ini merupakan bentuk permintaan hujan kepada Sang Pencipta.
Ikuti Kami di: