Ritus Ma’pasa’ Tedong Pada Upacara Adat Rambu Solo’ Toraja

Ritus Ma’pasa’ Tedong Pada Upacara Adat Rambu Solo’ Toraja - Pada kesempatan kali ini Berakhir Pekan akan berbagi artikel mengenai Prosesi Ma’pasa tedong pada upacara adat rambu solo di toraja. Adapun yang kami liput adalah upacara rambu solo almh Cristina Raya (Ne’ Layuk) dan Alm Desi Darius Raya (Pong Tio) di Lembang Lilikira Kecamatan nanggala Kab. Toraja Utara. Kedua orang yang di rambu solokan adalah ibu dan anak. Kebetulan yang di rambu solokan adalah bangsawan kapuangan Balusu jadi runtut upacara adat rambu solonya termasuk lengkap. Waktu pelaksanaan Upacara adat rambu solonya dimulai padA Akhir Desember 2022 dan berakhir di Awal Januari 2023.

Prosesi upacara ma’pasa tedong atau pengumpulan kerbau dalam upacara adat rambu solo’ disertai tuturan ritual sebagai pelengkapnya. Hal tersebut dilakukan sebagai tanda penghormatan dan penyucian atas kerbau-kerbau yang akan disembelih dalam upacara adat rambu solo’. Perlu pengetahuan dan pemahaman yang cukup mempelajari dan menginterpretasikan makna ritual secara tepat. Teks ritual dalam bentuk penghormatan bagi kerbau dalam upacara adat rambu solo’ menuangkan berbagai makna yang memengaruhi pola hidup dan karakter manusia Toraja.

Melalui penghormatan kerbau dalam upacara adat tidak hanya menyampaikan identitas maupun keunggulan-keunggulan yang dimiliki namun membuat kerbau bermakna sesuatu yang manusiawi (makna sosial dan budaya) bagi manusia Toraja. Dalam konteks ini, manusia Toraja melakukan naturalisasi dengan menyampaikan dua objek (tanda) atas upacara adat rambu solo’, yakni objek pertama (penanda) menyampaikan identitas diri sebagai fungsi material (denotasi). Objek kedua (petanda) adalah unsur nilai sosial budaya ditransfer maknanya ke objek pertama, misalnya tentang keinginan, harapan, cita-cita yang menjadi pedoman bagi kehidupan manusia Toraja.

Prosesi Mapasa Tedong adalah dimana kerbau – kerbau yang akan di kurbakan akan di kumpul di rante atau tempat upacara rambu solo’ kemudian kerbau-kerbau yang sebagian sudah di hias ini di arak keliling kampung, dengan urutan-urutan sebagai berikut:

1.Kerbau Balian


Ciri fisik dari kerbau balian adalah tanduknya panjang.kerbau balian disebut sebagai kerbau adat dalam ritual upacara rambu solo’.  kerbau balian dipandang sebagai kerbau ‘utama atau terdepan’ yang artinya menggambarkan sosok pemimpin yang teladan. Berdasarkan konteksnya kerbau balian menduduki baris pertama di antara jenis kerbau lainnya dalam upacara adat rambu solo’. Kerbau balian direpresentasikan sebagai sosok pemimpin atau teladan yang akan menunjukkan jalan bagi keselamatan bagi kehidupan manusia Toraja.

2. Kerbau Bonga dan Saleko


Ciri fisik kerbau bonga dan saleko ini adalah seekor jenis kerbau yang kulitnya bermotif belang (hitam-putih). Dari segi pemaknaan dijelaskan bahwa warna belang (bintik hitam-putih) pada kerbau bonga digambarkan sebagai cahaya atau penerang. Layaknya manusia, kata penerang dikaitkan dengan sosok yang memberikan suluh atau tuntunan kepada rumpun keluarga maupun masyarakat.

3. Kerbau pudu


Kerbau Pudu ciri fisiknya adalah kerbau berbulu hitam pekat. engkau berbulu hitam, keturunan bangsawan Pongki Kumorrok, kerbau pudu’ adalah kerbau yang berbulu hitam pekat yang kuat dan kekar berasal dari keturunan bangsawan dari Pantilang Luwu bernama Pongki Kumorrok. keberadaan kerbau pudu’ disimbolkan sebagai dasar kekuatan atau tumpuan dalam upacara adat bagi kaum bangsawan. Oleh karena itu sebutan pengayom yang direpresentasikan kerbau pudu’ dari kekuatan yang dimilikinya niscaya dapat menjaga dan memelihara kehidupan manusia Toraja. Kerbau pudu’ merepresentasikan nilai yang menggambarkan karakter diri manusia Toraja.

4. Kerbau Todi’

Kerbau Todi’ ciri fisikinya adalah kerbau hitam namun punya penanda putih di kepalanya. Engkau tanda putih pada kepala, Tanda kebesaran kekerabatan Tanda rumpun keluarga dari tongkonan, todi’ memiliki tanda putih pada kepala yang menandakan arti kekerabatan keluarga tongkonan. kerbau todi’ disimbolkan sebagai tongkonan, artinya tempat persekutuan rumpun keluarga yang bertitik tolak dari satu nenek. Arti tongkonan dikaitkan dengan perdamaian antara sanak saudara dalam satu keluarga, sehingga kerbau todi’ direpresentasikan sebagai pemersatu rumpun keluarga. Jadi simbol yang melekat pada diri kerbau todi’ membentuk nilai karakter manusia Toraja sebagai sosok yang dapat memersatukan rumpun keluarga tongkonan.

5. Kerbau Sokko

Ciri Fisik kerbau Sokko adalah tanduk tumbuh ke bawah, tanduk tumbuh ke bawah/ke dalam, menyimbolkan kerendahan hati) artinya kerbau sokko’ dengan bentuk tanduk yang dimilikinya menyimbolkan kerendahan hati. sosok yang rendah hati adalah berkaitan dengan sikap yang santun. Hal ini terkait kehadiran kerbau sokko’ digambarkan sebagai sosok yang santun dalam mengambil keputusan sehingga musyawarah dalam keluarga dapat berjalan dengan baik. Jadi, makna simbolisasi kerbau sokko’ dalam upacara adat rambu solo’ merepresentasikan nilai budaya yang membentuk karakter hidup manusia Toraja.

6. Kerbau Tekken langi’

Ciri Fisik dari kerbau tekken langi adalah satu tanduknya tumbuh keatas dan tanduk yang lain menghadap ke bawah. engkau hewan bergelar kaki besi, tanda perjanjian besar dengan sumpah, simbol perdamaian. Kerbau tekken langi’ memiliki kekuatan dalam memegang sumpah atau perjanjian adat atas pertikaian yang terjadi dalam lingkup masyarakat. Kerbau tekken langi’ menyimbolkan sosok pendamai yang akan mengamankan pertikaian atau pelanggaran adat yang terjadi di tengah masyarakat. Simbol yang melekat pada diri kerbau tekken langi’ merepresentasikan karakter diri manusia Toraja tentang nilai perdamaian.

7. Kerbau sambao’

Ciri fsiknya berwarna putih menyatakan penamaan diri melalui ciri serta keunggulan yang dimiliki dalam upacara adat. Seperti pada engkau hewan berwarna kelabu’, kerbau berkulit putih atau bersih, berkulit tebal dan halus) artinya, kerbau sambao’ memiliki kulit yang bersih, tebal, dan juga halus. warna kulit yang dimiliki kerbau sambao’ merupakan cerminan sebuah cahaya yang bersih. Simbol pembersihan adat yang melekat pada diri kerbau sambao’. Pemaknaan simbol yang melekat pada kerbau sambao’ berfungsi sebagai dasar aturan adat atas pelangggaran atau pertikaian adat, oleh sebab itu kerbau sambao’ disebut sebagai pemulih adat.

Setelah ketujuh lerbau ini kemudian disusul kerbau-kerbau lainnya.



Pengorbanan kerbau dalam upacara adat rambu solo’menciptakan mitos. Melalui penghormatan kerbau dalam upacara adat tidak hanya menyampaikan identitas maupun keunggulan-keunggulan yang dimiliki namun membuat kerbau bermakna sesuatu yang manusiawi (makna sosial dan budaya) bagi manusia Toraja. Dalam praktik hidup manusia Toraja, adat dan aluk menjadi satu kesatuan yang dilakukan turun-temurun yang akhirnya menjadi kebiasaan (ada’/adat). Hal ini tercermin pada upacara-upacara adat yang ada misalnya aluk rambu solo’ atau upacara kematian. Upacara yang berkaitan dengan kematian digolongkan dalam aluk rambu solo’ atau aluk rampe matampu’. Frase ini terdiri dari dua kata: rambu, yang artinya asap; dan solo’ artinya turun atau menurun. Jadi rambu solo’ secara harafiah berarti asap menurun, sedangkan aluk rampe matampu’ artinya sebelah barat. Disebut rambu solo’ karena ritus persembahan mulai dilaksanakan ketika matahari mulai menurun, dan disebut rampe matampu’ karena dilaksanakan di sebelah barat rumah tongkonan dan ketika matahari di sebelah barat. Menurut filosofi masyarakat Toraja, asap merupakan simbol dari upacara (kegiatan berkumpul yang dilanjutkan dengan kegiatan makan bersama), dan turun merupakan simbol kedukaan.

Kematian dilihat sebagai ’upacara’ bukan karena suasana kemeriahannya, tetapi terutama karena sikap penerimaan secara bebas akan takdir kematian itu sendiri. Kematian merupakan suatu peralihan hidup dari dunia ini menuju suatu dunia baru yang disebut puya, suatu dunia orang mati. Puya inilah roh orang meninggal melanjutkan kehidupannya. Namun untuk sampai ke puya, orang yang meninggal membutuhkan sarana dan bekal perjalanan yang cukup. Sarana atau modal perjalanan mendiang ke dunia puya itu disimbolkan dalam penyembelihan hewan kurban yakni babi dan kerbau. Kurban inilah yang menjadi ’kendaraan’ menuju ke gerbang puya.Besarnya jumlah hewan yang dikurbankan biasanya menunjukkan posisi atau status sosial yang bersangkutan dalam masyarakat. Mereka yang mempunyai status tertinggi dalam masyarakat wajib diupacarakan secara lengkap (dipasundun aluk atau dirapa’i), bahkan jenis hewan yang dikurbankan pun harus lengkap, jika tidak, hal ini biasa menjadi penghalang bagi bersangkutan untuk masuk ke dunia orang mati (puya). Ritual melalui adat istiadat yang telah diwarisi masyarakat Toraja secara turun temurun dalam bentuk rambu solo’ mewajibkan keluarga yang tinggal menyelenggarakan sebuah pesta atau upacara sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi selamnya (aluk rampe matampu’ atau mamarran mata). Ungkapan mamaran mata oleh etnis Toraja dinyatakan:  kita hanyalah pinjaman dunia dan dipakai untuk sementara. Sebab, di puya-lah (akhirat) negeri kita yang kekal.[bp]