Sejarah Masuknya Islam di Kajang Bulukumba - Apabila ditelusuri sejarah masuknya agama Islam di Kajang tidak terlepas dari pengaruh tiga kerajaan besar di Sulawesi Selatan yaitu Kerajaan Gowa, Luwu, dan Bone. Dalam sejarah disebutkan pada suatu ketika, ketiga pembesar kerajaan tellu boccoe mengadakan suatu pertemuan yang dihadiri oleh ketiga raja kerajaan besar dan dihadiri pula oleh raja-raja dari kerajaan kecil. Salah satu isi dari pertemuan tersebut adalah lahirnya suatu perjanjian atau momerandum of understanding barangsiapa yang menemukan cahaya kebajikan atau jalan keselamatan dunia dan akhirat, maka yang menemukan cahaya tersebut, berkewajiban menyampaikan kepada raja-raja lainnya.
Pada awal abad ke 17, Sulawesi Selatan kedatangan tiga ulama besar dari kota Minangkabau Sumatera Barat yaitu:
- Abdul Makmur yang bergelar Datu’ di Bandang, karena beliau dimakamkan di Kampung Bandang Kelurahan Kalukuang Kecamatan Bontoala kota Makassar,
- Sulaeman yang bergelar Datu’ Patimang, karena beliau dimakamkan di kampung Patimang Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu Utara, dan
- Abdul Jawad yang bergelar Datu’ di Tiro, karena beliau dimakamkan di Hilahila Kecamatan Bontotiro, Kabupaten Bulukumba. Untuk mengenang nama Abdul Jawad sebagai penyiar agama islam di daerah Bulukumba dan sekitarnya telah dibangun sebuah masjid di kota Bulukumba yang diberi nama Islamic Centre Dato’ Tiro.
Sedangkan metode yang diterapkan Datu’ Tiro
kurang tepat, karena tidak dimulai dari dasar dan langsung ilmu tingkat tinggi yaitu
ilmu tasawwuf. Selanjutnya bagaimana reuto perjalanan ketiga ulama akhirnya
sampai di Sulawesi Selatan, salah satu versi menyebutkan bahwa ketiga ulama
dari Minangkabau Sumatera Barat dengan rute melalui Banjarmasin sambil
menyiarkan agama islam, kemudian terus ke Ternate sambil menyiarkan agama
islam, kemudian kembali ke Sulawesi Selatan dan singgah di Selayar, disini
terdapat tiga versi yaitu versi pertama menyebutkan bahwa ketiganya menuju ke
Luwu, versi kedua menyebutkan bahwa hanya Datu’ Patimang yang langsung ke Luwu,
sedangkan Datu Bandang dan Datu’ Tiro langsung menuju Gowa, dan versi ketiga menyebutkan
bahwa setelah ketiganya sampai Luwu, hanya Datu’ Patimang yang menetap di Luwu,
sedangkan Datu’ Bandang dan Datu’ Tiro meneruskan tablignya ke Gowa.
Ketiga versi ini apabila ditelusuri dengan
keberadaan Masjid di Sulawesi Selatan, kelihatannya versi yang ketiga yang
lebih mendekati kesesuaian waktu, dimana Masjid tertua di Sulawesi Selatan
yaitu di Belopa dibangun pada tahun 1603, menyusul Masjid di kota Palapo
dibangun pada tahun 1605 dan menyusul Masjid Katangka di Gowa dibangun pada
tahun 1607. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa rakyat Luwu lebih dahulu memeluk
agama islam, dan Raja Luwu yang pertama masuk agama islam yaitu La Pattiware
Daeng Parabbung pada tahun 1603, dua tahun kemudian Raja Tallo merangkap
Mangkubumi Kerajaan Gowa yang yaitu Malingkaan Daeng Nyonri dan Raja Gowa ke 14
Mangngarrangi Daeng Manrabbia.
Kedua raja ini langsung menerima agama
islam dari Abdul Makmur yang bergelar Datu’ di Bandang pada tanggal 9 Jumadil awal
1014 H. bertepatan tanggal 22 September 1605 M, itulah sebabnya kedua raja ini
diberi gelar Arab masing-masing Malingkaan Daeng Nyonri bergelar Sultan Awalul
Islam tau menangnga ri agamana dan Mangngarrangi Daeng Manrabbia bergelar
Sultan Alauddin tau menanga ri gaukanna dan gelar Arab ini diabadikan menjadi
nama perguruan tinggi Islam terbesar di Indonesia timur yaitu Institut Agama
Islam Negeri yang disingkat IAIN dan sekarang berubah menjadi Universitas Islam
Negeri Makassar yang disingkat UIN. Dua tahun kemudian setelah kedua raja
menerima agama Islam secara simbolis dilaksanakan sembahyang jumat pertama di
Tallo yaitu pada tanggal 19 Rajab 1016 H. yang bertepatan tanggal 9 November
1607 M.
Berdasarkan hasil perjanjian antara
raja-raja di Sulawesi Selatan yang disepakati dalam suatu pertemuan bahwa
barang siapa menemukan jalan atau cahaya kebajikan untuk keselamatan dunia dan
akhirat maka yang bersangkutan berkewajiban menyampaikan kepada raja lainnya.
Kebetulan cahaya kebajikan berupa agama islam diterima oleh Kerajaan Luwu dan
Kerajaan Gowa lebih dahulu, maka kedua raja ini merasa berkewajiban untuk
menyampaikan kepada kerajaan lainnya diantaranya Kerajaan Bone, Soppeng, dan
Wajo. Namun tidak semua kerajaan menerima ajakan ini dengan baik, termasuk
Kerajaan Bone, dan bahkan Kerajaan Bone mengatakan bahwa ajakan Kerajaan Gowa
adalah strategi yang dijalankan untuk melakukan ekspansi kekuasaan.
Kedua kerajaan sebagai pembawa cahaya
kebajikan yaitu Kerajaan Gowa dan Kerajaan Luwu, berbeda cara menghadapinya kepada
kerajaan yang menolak agama islam. Kerajaan Luwu lebih mengedepankan penyiaran
agama islam secara damai, akan tetapi Kerajaan Gowa dengan jalan kekerasan yang
mengacu pada perjanjian yang pernah disepakati, bahkan mengancan memerangi
kerajaan yang tetap menolak islam, akhirnya Kerajaan Wajo menerima agama islam
pada tahun 1607, dan Kerajaan Soppeng menerima agama islam pada tahun 1609,
sementara Kerajaan Bone tetap berpendirian menolak agama islam dan menganggap
perang yang dilancarkan Kerajaan Gowa adalah perang Islam atau musuh sellang Sikap
Kerajaan Bone yang tetap menolak agama islam, maka Kerajaan Gowa yang dipimpin
oleh Sultan Alauddin memutuskan memerangi Kerajaan Bone dengan sekutu-sekutunya
yang berlangsung selama dua tahun dan diakhiri dengan pertempuran di Pallatte,
dan berdasarkan kesepakatan adat pitue, maka Raja Bone La Tenriruwa menerima
agama islam, akan tetapi penerimaan agama islam oleh Raja Bone secara simbolis
ditolak sebagian besar masyarakat Kerajaan Bone, akhirnya La Tenriruwa mengundurkan
diri sebagai Raja Bone dan digantikan oleh La Tenripale.
Setelah La Tenripale resmi menjabat Raja
Bone bersama adat pitue akan tetap menolak agama islam di Kerajaan Bone,
sehingga peperangan antara Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bone tidak dapat
terhindarkan lagi. Namun setelah peperangan berlangsung selama dua tahun,
akhirnya Kerajaan Bone mengalami kekalahan dan menyerah pada pasukan Kerajaan
Gowa dan secara simbolis Raja Bone La Tenripale menerima agama islam pada
tanggal 20 Ramadhan 1020 H atau bertepatan 1611 M.
Dengan demikian seluruh Kerajaan Makassar,
Bugis dan Mandar telah menerima agama islam sebagai agama kerajaan dan agama
dimasukkan sebagai bahagian dari pangadatkang, maka sejak itu kerajaan-kerajaan
yang telah resmi menganut agama islam mengangkat pegawai sara’ pada tingkat
kerajaan namanya kadi bagi masyarakat Bugis memanggil petta kadia, bagi
masyarakat Makassar memanggil daengta kadia dan khusus masyarakat Kajang
memanggil puang kali. Sedangkan pada tingkat gallarrang dipanggil dengan
bermacam-macam ada memanggil puang imam, daeng imam atau anrong guru.
Menyimak perkembangan agama islam di
Sulawesi Selatan, sekalipun Datu’ Tiro yang bertugas menyiarkan agama islam pada
daerah Bulukumba dan sekitarnya, ammatoa bersama karaeng tallua dan adat
limayya sangat merespon tentang ajaran Islam sehingga mengutus tiga orang
putera Kajang untuk mempelajari agama islam guna membantu Datu’ Tiro dalam
proses penyiaran agama islam, maka diutuslah secara bertahap tiga orang
mempelajari agama islam yaitu (1) Janggo Toa ke Luwu, (2) Janggo Tojarra ke
Wajo, dan (3) Tu Asara Daeng Mallipa.
Janggo Toaya
Janggo Toaya adalah anak ammatoa yang pertama
kali diutus ke Luwu untuk mempelajari agama islam, karena ketika itu Kajang
berada di bawah pengaruh Kerajaan Luwu, dan telah berkembang agama islam lebih
pesat apabila dibandingkan dengan kerajaan lain seperti Gowa, Bone, Wajo, dan
Soppeng, ini menunjukkan bahwa agama islam lebih dahulu masuk di Kerajaan Luwu.
Janggo Toa selama belajar agama islam di Luwu hanya memperoleh ilmu berupa; (1)
ilmu memotong hewan atau kallong tedong, (2) ilmu menikahkan atau katimbowang
tau, dan (3) ilmu mendoakan orang mati atau talking yang orang Kajang sebut
kacappukan umuru
Selama tiga tahun Janggo Toaya belajar
agama islam di Luwu dari gurunya Datu’ Pataimang hanya memperoleh ilmu di atas,
dan begitu pulang ke Kajang ilmu tersebut langsung diterima oleh masyarakat
Kajang, karena menurut ammatoa selaku ketua adat limayya dan adat buttayya
ilmu-ilmu tersebut memang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari,
misalnya ilmu penyembelian hewan, karena sebelumnya di Kajang hewan hanya dibakar,
begitu pula nikah dan ilmu talking sangat aplikatif bagi orang Kajang dan
sekitarnya baik masyarakat dalam embaya atau komunitas ammatoa maupun
masyarakat di luar embaya.
Janggo Tojarra
Beberapa tahun kemudian atas kesepakatan
ammatoa dan adat limayya diutus lagi Janggo Tojarra ke Wajo untuk
menyempurnakan ajaran Islam, selama di Wajo beliau belajar rukum islam yaitu
(1) mengucapkan dua kalimat syahadat, (2) mendirikan sholat, (3) mengeluarkan
zakat, (4) berpuasa pada bulan Ramadhan, dan (5) menunaikan ibadah haji bagi orang
yang mampu, setelah Janggo Tojarra pulang dari Wajo dan sesampainya di Kajang
langsung mengislamkan masyarakat yang belum pernah mengucapkan dua kalimat
syahadat sebagai tanda pernyataan masuk islam termasuk ammatoa Bohe Tommi secara
resmi memeluk Islam. Dengan masuknya ammatoa agama Islam yang diawali pengucapan
dua kalimat, maka masyarakat Kajang dinyatakan masuk Islam secara keseluruhan,
sekalipun komunitas ammatoa belum menjalankan ajaran Islam yang dibawa oleh Janggo
Tojarra. Ammatoa selaku ketua adat limayya dan adat buttayya menyarankan agar
ajaran agama Islam yang dibawa oleh Janggo Tojarra yaitu berupa rukun Islam
tidak disebarkan dalam masyarakat embaya dan hanya diperkenakan disebarkan di
luar masyarakat embaya, dan hanya ajaran agama islam yang dibawa oleh Janggo
Toaya yang diperkenankan disebarkan dalam masyarakat embaya atau masyarakat
komunitas ammatoa.
Tu Asara Daeng Mallipa
Tu Asara Daeng Mallipa diutus lagi ke Gowa
untuk menyempurnakan ajaran agama islam atas permintaan Kerajaan Gowa yang kala
itu dipimpin oleh Sultan Malikusaid Karaeng Lakiung sebagai Raja Gowa ke 15,
ayah Sultan Hasanuddin. Tu Asara Daeng Mallipa belajar agama Islam selama tiga
tahun pada guru lompoa atau ulama besar di Bontoala. Ilmu yang diperoleh Tu Asara
Daeng Mallipa dari guru lompoa adalah merupakan penyempurnaan ajaran agama
Islam yang diterima oleh Janggo Tojarra. Namun ajaran Islam yang diterima oleh
Janggo Tojarra dan Tu Asara Daeng Mallipa ditolak ammatoa, dan keduanya hanya
diperkenankan disebar- luaskan di luar masyarakat embaya.
Atas penolakan ajaran Islam yang dibawa
oleh Janggo Tojarra dan Tu Asara Daeng Mallipa oleh ammatoa dan komunitasnya
itulah yang melatarbelakangi terbentuknya dualisme komunitas Kajang yaitu (1)
komunitas ammatoa yang lazim disebut masyarakat dalam embaya yang menganut
kepercayaan patuntung, dan (2) komunitas di luar embaya atau yang lazim disebut
masyarakat Kajang luar. Dualisme masyarakat Kajang hingga dewasa ini masih
terlihat perbedaan yang sangat signifikan antara kedua komunitas, masyarakat
Kajang dalam embaya masih tetap menegakkan ajaran pasang di Kajang sebagai
pedoman hidup dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan masyarakat Kajang di luar
embaya menjadikan Al Qur’an dan Hadist sebagai pedoman hidup dalam kehidupan
sehari-hari. Hubungan kedua komunitas berjalan baik, sekalipun berbeda dalam
hal menerapkan ajaran agama Islam sehari-hari, komunitas ammatoa tetap mangakui
bahwa rukun agama Islam terdiri lima, akan tetapi dalam aplikasinya tidak
dilaksanakan secara keseluruhan. Untuk sholat lima waktu komunitas ammatoa mengatakan
baginya tidak pernah batal wudhunya dan tidak pernah putus sembahyangnya dengan
peristilahan je’ne taluka sembahyang tata’pu. Artinya sekalipun bagi komunitas
ammatoa tidak sholat, akan tetapi perbutannya senantiasa mengamalkan prinsip
ajaran islam utamanya makna yang terkandung dalam sholat.
Sedangkan masyarakat di luar komunitas
ammatoa tetap melaksanakan ajaran agama islam yang dibawa oleh Janggo Tojarra
dan Tu Asara Daeng Mallipa secara keseluruhan, namun tidak mengecilkan
komunitas masyarakat ammatoa, tetap saling menghormati sebagai suatu rumpun
yang berasal dari tau manurunga. Bagi masyarakat di luar embaya menjalankan
ajaran agama islam berawal dari pelaksanaan ilmu syariat, sedangkan masyarakat
komunitas ammatoa menjalankan ajaran agama islam langsung pada tingkat tarekat
atau paham kebatinan sesuai ajaran Datu’ Tiro menyebarkan agama Islam yang
berawal dari pendekatan ilmu kebatinan.
Sehubungan dengan masuknya agama islam di
Kajang yang dibawa oleh Janggo Toa, Janggo Tojarra, dan Tu Asara Daeng Mallipa
serta Datu Tiro, maka resmilah agama islam menjadi tuntunan hidup bagi
masyarakat Kajang, sehingga agama islam dimasukkan sebagai bahagian dari
pangngadatkan dan diangkatlah beberapa pejabat Sara’ pada tingkat kecamatan
atau distrik bergelar kali dan pada tingkat gallarrang bergelar imam atau
anrong guru. Adapun nama-nama yang pernah menjadi kali di Kajang diantaranya:
Kali Tandang, Kali Lambaso, Kali Bado, Kali Parajai, Kali Palippui, Kali
Mahamud dan masih banyak kali yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Untuk mengintensifkan siar agama Islam di
Kajang, selain diangkat beberapa pegawai sara’ juga dibangun beberapa tempat
ibadah berupa masjid dan sekolah-sekolah Islam untuk membekali pendidikan agama
bagi generasi muda, sehingga agama Islam berkembang pesat di Kajang, bahkan
pernah kedatangan seorang guru agama bernama Tuan Nasara yang berkebangsaan
Arab Saudi. Untuk kebutuhan tempat beribadah, maka dibangunlah beberapa masjid,
diantaranya masjid pertama di Kassi yang sekarang masjid besar Kajang, masjid
kedua di Laikang, masjid ketiga di Karangkambantia dan masjid keempat di
Tambangan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kemudian Kajang menjadi
salah satu pusat organisasi muhammadiyah di Bulukumba. Ini terbukti banyak
putera dan puteri Kajang yang berhasil menjadi guru-guru agama, bahkan ada
beberapa putera Kajang pernah menjadi pejabat diantaranya H. Andi Mudastir pada
Kantor Departemen Agama Sulawesi Selatan dan H. Lanna sebagai Kepala Kantor
Departemen Agama Kabupaten Polmas dan masih banyak lagi putera-puteri Kajang
yang berhasil menjadi pejabat dalam lingkup departemen agama yang penulis tidak
dapat sebutkan satu persatu.[bp]
Ikuti Kami di: