Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat bahwa lebih dari seribu orang yang diduga sebagai anggota, simpatisan, atau pengurus...
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat bahwa lebih dari seribu orang yang diduga sebagai anggota, simpatisan, atau pengurus Partai Komunis Indonesia (PKI) dipindahkan ke Moncongloe antara tahun 1970 hingga delapan tahun berikutnya. Di antara mereka, 52 adalah perempuan.
Mereka dijebloskan ke sana tanpa proses hukum yang jelas, tanpa surat penangkapan, apalagi vonis pengadilan. Di tempat ini, mereka dipaksa bekerja tanpa upah, membangun jalan sepanjang 23 kilometer dari Moncongloe hingga Daya. Batu-batu dari gunung harus mereka angkut ke jalan raya, sementara tenaga mereka dikuras habis. Satu-satunya “imbalan” yang diterima hanyalah setengah liter beras per orang setiap pekannya—jauh dari cukup untuk bertahan hidup.
Menurut Nur Kholis dari Komnas HAM, peristiwa ini merupakan bukti nyata pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan secara sistematis terhadap warga sipil.
Kisah dari Moncongloe: Kesaksian Seorang Korban
Salah satu penyintas yang mengalami langsung tragedi ini memilih untuk tetap anonim demi keselamatannya. Sebut saja namanya Andy. Ia tiba di Moncongloe bersama 43 orang lainnya, yang kemudian dikenal sebagai "Kelompok 44".
Saat pertama kali sampai, rasa lapar yang mendera membuat mereka girang ketika melihat kebun singkong milik petugas militer. Mereka buru-buru mencabut dan memakannya mentah-mentah. Namun, kegembiraan itu berujung petaka—banyak yang sakit perut hingga mengalami diare.
Di sana, mereka menemukan barak-barak tahanan yang dihuni puluhan hingga ratusan orang. Tanpa pilihan lain, mereka membangun barak baru untuk diri mereka sendiri, lengkap dengan pagar, WC, aula masjid, poliklinik, dan pos jaga.
Namun, penderitaan mereka belum berakhir. Hutan di sekitar Moncongloe dibuka untuk dijadikan kebun, dan tahanan dipaksa bekerja menggarap lahan yang hasilnya sepenuhnya menjadi milik militer. Luas kebun yang diberikan tergantung pangkat tentara—mulai dari empat hingga enam hektar per orang.
Moncongloe: Dari Hutan ke Kamp Pengasingan
Moncongloe, yang terletak di perbatasan Maros dan Gowa, memiliki lanskap berbukit dan tanah merah yang dikenal sulit diolah. Di sekitarnya, terdapat berbagai kompleks militer seperti Kodam XIV Hasanuddin dan satuan-satuan lainnya. Pada tahun 1968, wilayah ini diubah menjadi tempat pengasingan bagi tahanan politik yang dituduh terlibat PKI.
Keputusan memilih Moncongloe bukan tanpa alasan. Setidaknya ada tiga faktor utama yang mendukungnya:
- Hutan Negara yang Belum Terjamah – Membuka lahan baru di Moncongloe berarti militer dapat mengontrol tanah dalam jumlah besar.
- Hutan Bambu yang Luas – Bambu dari Moncongloe menjadi bahan baku utama untuk pabrik kertas di Gowa. Para tahanan diperintahkan untuk menebang bambu sebanyak mungkin untuk dijual.
- Kayu Bernilai Tinggi – Pegunungan Moncongloe menyimpan pohon-pohon besar dengan nilai ekonomi tinggi. Para tapol (tahanan politik) dibagi menjadi beberapa regu kerja—ada yang bertugas menebang pohon, ada yang mengolah kayu menjadi papan dan tiang rumah.
Tak ada gaji, tak ada istirahat yang layak, dan tak ada kebebasan. Mereka yang mencoba melawan atau melarikan diri akan menghadapi konsekuensi yang lebih mengerikan.
Dari Politik ke Penjara: Nasib Tapol di Sulawesi Selatan
Kisah perbudakan ini berakar dari pergolakan politik pascakemerdekaan. PKI pertama kali membuka cabang di Makassar pada tahun 1922, dan melalui surat kabar Pemberita Makassar, mereka menyebarkan propaganda melawan kolonialisme Belanda. Namun, di Sulawesi Selatan, PKI harus berhadapan dengan gerakan Islam seperti Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII), yang menganggap komunisme bertentangan dengan agama.
Pada Pemilu 1955, PKI hanya meraih 0,25% suara di Sulawesi Selatan—jauh dari keberhasilan mereka di daerah lain. Meskipun secara nasional PKI mendapat dukungan Presiden Soekarno, mereka tetap sulit mendapatkan simpati di Sulawesi Selatan, terutama karena perlawanan dari kelompok-kelompok Islam dan militer.
Ketika Gerakan 30 September 1965 pecah di Jakarta, situasi di Sulawesi Selatan masih terkendali. Namun, pada minggu pertama Oktober, gelombang anti-PKI membesar dengan cepat. Amarah massa tak hanya ditujukan pada orang-orang yang dianggap komunis, tetapi juga meluas ke kelompok etnis tertentu, terutama warga keturunan Tionghoa.
Ribuan orang ditangkap—beberapa karena keyakinan politik mereka, yang lain hanya karena dugaan atau kesalahan identifikasi. Antara Oktober 1965 hingga Maret 1966, jumlah tahanan politik di Sulawesi Selatan mencapai hampir 10.000 orang.
Di dalam penjara, mereka disiksa tanpa belas kasihan. Jeritan para tahanan menjadi suara yang akrab di malam hari. Dari penjara, mereka yang selamat kemudian dikirim ke kamp pengasingan Moncongloe.
Penangkapan dan Penyiksaan Tanpa Kepastian Hukum
Di balik setiap penahanan, ada tangan-tangan militer yang bertindak atas perintah atau kepentingan pribadi. Tak ada batasan waktu untuk masa tahanan—mereka bisa dikurung bertahun-tahun tanpa ada surat perintah atau vonis resmi dari pengadilan.
Tragisnya, beberapa orang bahkan hanya menjadi korban salah tangkap. Salah satu kasus yang terkenal adalah kelompok tarekat Tumbung Tellue-Timbung Limae di Bulukumba. Hanya karena sering mengadakan pertemuan, mereka dicurigai sebagai bagian dari PKI dan ditangkap tanpa bukti.
Moncongloe, Saksi Bisu Sejarah yang Terlupakan
Hari ini, Moncongloe hanyalah daerah perbukitan yang tampak tenang. Namun, tanah merahnya menyimpan sejarah kelam—kisah kerja paksa, ketidakadilan, dan penderitaan manusia.
Banyak yang tidak mengetahui kisah tragis ini, atau memilih untuk melupakannya. Namun, bagi mereka yang pernah merasakan pahitnya menjadi tahanan di Moncongloe, kenangan itu tetap hidup. Luka yang ditorehkan di sana tak hanya meninggalkan bekas pada mereka yang mengalami, tetapi juga menjadi bagian dari sejarah yang seharusnya tidak pernah diulang.
Kamp Pengasingan Moncongloe: Jejak Kelam Sejarah Tapol di Sulawesi Selatan
Kamp Pengasingan Moncongloe merupakan salah satu titik kelam dalam sejarah penindasan politik di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan. Kamp ini dihuni oleh para tahanan politik (tapol) yang sebelumnya mendekam di berbagai penjara di wilayah Kodim kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan. Mereka ditangkap dalam periode Oktober 1965 hingga Maret 1966 dengan tuduhan terlibat dalam Gerakan 30 September/PKI di Sulawesi Selatan.
Awal Mula Kamp Pengasingan Moncongloe
Kamp Moncongloe mulai dirintis pada tahun 1968 sebagai tempat penahanan bagi mereka yang dianggap terlibat dalam gerakan kiri. Gelombang pertama pengiriman tapol ke kamp ini terjadi pada Maret 1969, dengan 11 tahanan politik dari Makassar yang terdiri atas 7 laki-laki dan 4 perempuan. Mereka kemudian dikenal sebagai "Angkatan 11".
Gelombang kedua terjadi pada Mei 1969, dengan tambahan 44 tahanan politik, yang kemudian disebut "Angkatan 44". Selanjutnya, pada September 1970, kembali 44 tahanan dikirim ke kamp ini. Tahun 1971 menjadi puncak kedatangan tapol, dengan 250 orang dari penjara Makassar dipindahkan ke Moncongloe. Pada Juni 1971, tapol dari berbagai daerah seperti Majene, Polewali Mamasa, Pinrang, Parepare, Barru, Pangkep, Maros, Bone, Gowa, Takalar, Bantaeng, Bulukumba, Palopo, Tana Toraja, dan Kepulauan Selayar juga dikirim ke kamp ini.
Pada akhir tahun 1971, jumlah penghuni Kamp Moncongloe mencapai 911 orang, terdiri dari 52 perempuan dan 859 laki-laki. Mereka hidup dalam kondisi yang penuh keterbatasan, baik dalam hal sanitasi, kesehatan, maupun makanan.
Kondisi Tapol dan Pembangunan Infrastruktur
Seiring berjalannya waktu, beberapa fasilitas infrastruktur mulai dibangun di kamp ini pada akhir 1969. Namun, kehidupan para tapol tetap dipenuhi tekanan dan kerja paksa. Meski banyak yang dituduh sebagai anggota PKI, tak semua penghuni kamp ini benar-benar terlibat dalam organisasi tersebut. Sebagian dari mereka hanya korban salah tangkap atau individu yang di-PKI-kan karena alasan politis.
Pada 20 Desember 1977, tapol mulai dibebaskan secara bertahap menjadi tahanan rumah. Setahun kemudian, pada 1978, Kamsing Moncongloe diubah statusnya menjadi tahanan militer. Seluruh tapol, baik sipil maupun militer, akhirnya dibebaskan pada tahun 1979, menandai berakhirnya era penahanan politik di tempat ini.
Moncongloe dalam Sejarah Pelanggaran HAM
Bertahun-tahun setelah penutupan kamp ini, ingatan akan penderitaan para tahanan politik tetap hidup. Pada tahun 2012, Komnas HAM RI menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat di Kamp Moncongloe. Keputusan ini menjadi pengakuan atas ketidakadilan yang dialami oleh para tahanan yang dituduh tanpa proses hukum yang jelas.
Kamp Pengasingan Moncongloe kini menjadi bagian dari sejarah yang mencerminkan bab kelam dalam perjalanan politik Indonesia. Kisah para tahanan politik yang pernah menghuni kamp ini harus tetap diingat sebagai pengingat bagi generasi mendatang agar tragedi serupa tidak terulang kembali.
Daftar Tokoh yang Ditahan di Kamp Pengasingan Moncongloe
Kamp Pengasingan Moncongloe merupakan salah satu lokasi pengasingan bagi individu yang dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi onderbouw-nya setelah peristiwa 1965. Beberapa tokoh dari berbagai latar belakang ditahan di tempat ini dengan berbagai alasan politik dan sosial. Berikut adalah daftar beberapa tokoh yang pernah mengalami pengasingan di Kamp Moncongloe:
1. Tokoh dengan Latar Belakang Pemerintahan dan Militer
- Andi Zemmeng – Kepala Penerangan Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara.
- (Alm.) Muhammad Jufri Buape (1942/1944) – Anggota polisi Pamong Praja Kabupaten Sidenreng Rappang.
- Ribut Sugiyo (1944) – Anggota polisi berpangkat kopral dari Kota Madiun, Jawa Timur.
- (Alm.) Soemiran – Anggota polisi yang bertugas di Pelabuhan Makassar.
2. Tokoh dari Akademisi dan Tenaga Pengajar
- P.L. Payung (1940) – Guru Sekolah Dasar di Rantepao, Tana Toraja.
- Ir. Rasjidi Amrah (1945) – Insinyur Teknik Sipil dan pengajar di Akademi Ilmu Pelayaran Indonesia (AIPI).
- Jakaria Daeng Passeleng (1946) – Pegawai Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar.
3. Tokoh Aktivis dan Organisasi Pemuda
- Anwar Abbas (1947) – Ketua Pemuda Rakyat Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep).
- Jakaria Daeng Passeleng (1946) – Wakil ketua Central Sub Seksi (CSS) Kecamatan Bontoala, Makassar.
- Wempi (1946) – Anggota Pemuda Rakyat Kotamadya Parepare asal Manado.
- Arnold Roring – Ketua pertama organisasi Pemuda Rakyat Parepare.
- Damin Rasyid Mole – Ketua organisasi Pemuda Rakyat Parepare, yang juga seorang guru.
4. Tokoh di Bidang Kesehatan dan Karyawan
- Susanti – Instruktur kesehatan dan tenaga pengajar di berbagai daerah di Sulawesi Selatan.
- Sarmanto Sarmo – Karyawan di perusahaan semen Tonasa Kabupaten Pangkep dan sekretaris SOBSI.
- Gunawan "Cak Gun" – Karyawan di sektor swasta yang ditangkap atas dugaan keterlibatan dengan organisasi terlarang.
5. Tokoh dari Kalangan Umum
- Hatipa – Salah satu perempuan yang ditahan di Kamp Pengasingan Moncongloe.
- Norma Intan – Perempuan yang ditahan tanpa informasi latar belakang yang jelas.
- Lasanu – Ditangkap pada tahun 1965 di Penjara Kodim Parepare dan dipindahkan ke Moncongloe pada 1969.
- Jaruddin, Bagio, Zakaria, dan Rasyid – Nama-nama tokoh yang tercatat ditahan namun tanpa informasi detail mengenai latar belakang mereka.
Kamp Pengasingan Moncongloe menjadi saksi sejarah bagi banyak individu yang dianggap memiliki keterkaitan dengan gerakan kiri di Indonesia pada masa Orde Baru. Banyak dari mereka ditahan bertahun-tahun tanpa proses hukum yang jelas. Sejarah ini menjadi bagian penting dalam memahami perjalanan politik Indonesia dan dampaknya terhadap masyarakat sipil di Sulawesi Selatan dan sekitarnya.
COMMENTS