Museum Benteng
Vredeburg, Ke Jogja Jangan Lupa Kesini – Sahabat Travellers, pada
kesempatan kali ini Berakhir Pekan Akan Share Informasi mengenai Bangunan
Bersejarah di Jogjakarta, Tepatnya Benteng Vredeburg, Peninggalan Penjajah
Belanda di Jogja, Sebelumnya telah diulas mengenai Candi Borobudur, Candi
Prambanan, Istana Ratu Boko dan Siti Hinggil Pagelaran Kraton Jogja. Museum Benteng adalah sebuah benteng yang
terletak di depan Gedung Agung dan Kraton Kesultanan Yogyakarta. Sekarang,
benteng ini menjadi sebuah museum.
Di sejumlah bangunan di dalam benteng ini terdapat diorama mengenai sejarah Indonesia. Benteng ini dibangun sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan residen Belanda kala itu, dengan dikelilingi oleh sebuah parit (jagang) yang sebagian bekas-bekasnya telah direkonstruksi dan dapat dilihat hingga sekarang. Benteng berbentuk persegi ini mempunyai menara pantau (bastion) di keempat sudutnya. Benteng Vredeburg Yogyakarta berdiri terkait erat dengan lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang berrhasil menyelesaikan perseteruan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I kelak) adalah merupakan hasil politik Belanda yang selalu ingin ikut campur urusan dalam negeri raja-raja Jawa waktu itu. Melihat kemajuan yang sangat pesat akan kraton yang didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I, rasa kekhawatiran pihak Belanda mulai muncul. Pihak Belanda mengusulkan kepada sultan agar diizinkan membangun sebuah benteng di dekat kraton. Pembangunan tersebut dengan dalih agar Belanda dapat menjaga keamanan kraton dan sekitarnya. Akan tetapi dibalik dalih tersebut maksud Belanda yang sesungguhnya adalah untuk memudahkan dalam mengontrol segala perkembangan yang terjadi di dalam kraton. Letak benteng yang hanya satu jarak tembak meriam dari kraton dan lokasinya yang menghadap ke jalan utama menuju kraton menjadi indikasi bahwa fungsi benteng dapat dimanfaatkan sebagai benteng strategi, intimidasi, penyerangan dan blokade. Dapat dikatakan bahwa berdirinya benteng tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu Sultan memalingkan muka memusuhi Belanda. Besarnya kekuatan yang tersembunyi dibalik kontrak politik yang dilahirkan dalam setiap perjanjian dengan pihak Belanda seakan-akan menjadi kekuatan yang sulit dilawan oleh setiap pemimpin pribumi pada masa kolonial Belanda. Dalam hal ini termasuk pula Sri Sultan Hamengku Buwono I. Oleh karena itu permohonan izin Belanda untuk membangun benteng dikabulkan.
Di sejumlah bangunan di dalam benteng ini terdapat diorama mengenai sejarah Indonesia. Benteng ini dibangun sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan residen Belanda kala itu, dengan dikelilingi oleh sebuah parit (jagang) yang sebagian bekas-bekasnya telah direkonstruksi dan dapat dilihat hingga sekarang. Benteng berbentuk persegi ini mempunyai menara pantau (bastion) di keempat sudutnya. Benteng Vredeburg Yogyakarta berdiri terkait erat dengan lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang berrhasil menyelesaikan perseteruan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I kelak) adalah merupakan hasil politik Belanda yang selalu ingin ikut campur urusan dalam negeri raja-raja Jawa waktu itu. Melihat kemajuan yang sangat pesat akan kraton yang didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I, rasa kekhawatiran pihak Belanda mulai muncul. Pihak Belanda mengusulkan kepada sultan agar diizinkan membangun sebuah benteng di dekat kraton. Pembangunan tersebut dengan dalih agar Belanda dapat menjaga keamanan kraton dan sekitarnya. Akan tetapi dibalik dalih tersebut maksud Belanda yang sesungguhnya adalah untuk memudahkan dalam mengontrol segala perkembangan yang terjadi di dalam kraton. Letak benteng yang hanya satu jarak tembak meriam dari kraton dan lokasinya yang menghadap ke jalan utama menuju kraton menjadi indikasi bahwa fungsi benteng dapat dimanfaatkan sebagai benteng strategi, intimidasi, penyerangan dan blokade. Dapat dikatakan bahwa berdirinya benteng tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu Sultan memalingkan muka memusuhi Belanda. Besarnya kekuatan yang tersembunyi dibalik kontrak politik yang dilahirkan dalam setiap perjanjian dengan pihak Belanda seakan-akan menjadi kekuatan yang sulit dilawan oleh setiap pemimpin pribumi pada masa kolonial Belanda. Dalam hal ini termasuk pula Sri Sultan Hamengku Buwono I. Oleh karena itu permohonan izin Belanda untuk membangun benteng dikabulkan.
Sebelum dibangun benteng pada lokasinya yang sekarang
(Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta), pada tahun 1760 atas permintaan Belanda,
Sultan HB I telah membangun sebuah benteng yang sangat sederhana berbentuk
bujur sangkar. Di keempat sudutnya dibuat tempat penjagaan yang disebut seleka
atau bastion. Oleh sultan keempat sudut tersebut diberi nama Jayawisesa (sudut
barat laut), Jayapurusa (sudut timur laut), Jayaprakosaningprang (sudut barat
daya) dan Jayaprayitna (sudut tenggara). Menurut penuturan Nicolas Hartingh,
bahwa benteng tersebut keadaannya masih sangat sederhana. Tembok dari tanah
yang diperkuat dengan tiang-tiang penyangga dari kayu pohon kelapa dan aren.
Bangunan di dalamnya terdiri atas bambu dan kayu dengan atap ilalang. Sewaktu
W.H.Ossenberch menggantikan kedudukan Nicolas Hartingh, pada tahun 1765
diusulkan kepada sultan agar benteng diperkuat menjadi bangunan yang lebih
permanen agar lebih menjamin kemanan. Usul tersebut dikabulkan, selanjutnya
pembangunan benteng dikerjakan di bawah pengawasan seorang Belanda ahli ilmu
bangunan yang bernama Ir. Frans Haak. Pada awal pembangunan ini (1760) status
tanah merupakan milik kasultanan. Tetapi dalam penggunaannya dihibahkan kepada
Belanda (VOC) di bawah pengawasan Nicolas Hartingh, gubernur dari Direktur
Pantai Utara Jawa di Semarang. Usul Gubernur W.H. Van Ossenberg (pengganti
Nicolaas Hartingh) agar bangunan benteng lebih disempurnakan, dilaksanakan
tahun 1767. Periode ini merupakan periode penyempurnaan Benteng yang lebih
terarah pada satu bentuk benteng pertahanan.
Menurut rencana pembangunan tersebut akan diselesaikan tahun
itu juga. Akan tetapi dalam kenyataannya proses pembangunan tersebut berjalan
sangat lambat dan baru selesai tahun 1787. Hal ini terjadi karena pada masa
tersebut Sultan yang bersedia mengadakan bahan dan tenaga dalam pembangunan
benteng, sedang disibukkan dengan pembangunan Kraton Yogyakarta. Setelah
selesai bangunan benteng yang telah disempurnakan tersebut diberi nama
Rustenburg yang berarti ‘Benteng Peristirahatan’. Pada periode ini secara
yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan tetapi secara de facto
penguasaan benteng dan tanahnya dipegang oleh Belanda.
Tanggal 7 Maret 1942, pemerintah Jepang memberlakukan UU
nomor 1 tahun 1942 bahwa kedudukan pimpinan daerah tetap diakui tetapi berada
di bawah pengawasan Kooti Zium Kyoku Tjokan (Gubernur Jepang) yang berkantor di
Gedung Tjokan Kantai (Gedung Agung). Pusat kekuatan tentara Jepang disamping
ditempatkan di Kotabaru juga di pusatkan di Benteng Vredeburg. Tentara Jepang
yang bermarkas di Benteng Vredeburg adalah Kempeitei yaitu tentara pilihan yang
terkenal keras dan kejam. Disamping itu benteng Vredeburg juga digunakan
sebagai tempat penahanan bagi tawanan orang Belanda maupun Indo Belanda yang
ditangkap. Juga kaum politisi Indonesia yang berhasil ditangkap karena
mengadakan gerakan menentang Jepang. Guna mencukupi kebutuhan senjata, tentara
Jepang mendatangkan persenjataan dari Semarang. Sebelum dibagikan ke pos-pos
yang memerlukan terlebih dulu di simpan di Benteng Vredeburg. Gudang mesiu
terletak di setiap sudut benteng kecuali di sudut timur laut. Hal itu dengan
pertimbangan bahwa di kawasan tersebut keamanan lebih terjamin. Penempatan
gudang mesiu di setiap sudut benteng dimaksudkan untuk mempermudah di saat terjadi
perang secara mendadak.
Pada masa Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948) Benteng
Vredeburg yang waktu itu dijadikan markas militer RI menjadi sasaran pengeboman
pesawat-pesawat Belanda. Kantor Tentara Keamanan Rakyat yang berada di dalamnya
hancur. Setelah menguasai lapangan terbang Maguwo, tentara Belanda yang
tergabung dalam Brigade T pimpinan Kolonel Van Langen berhasil menguasai kota
Yogyakarta, termasuk Benteng Vredeburg. Selanjutnya Benteng Vredeburg
dipergunakan sebagai markas tentara Belanda yang tergabung dalam IVG
(Informatie voor Geheimen), yaitu dinas rahasia tentara Belanda. Di samping itu
Benteng Vredeburg juga difungsikan sebagai asrama prajurit Belanda dan juga
dipakai untuk menyimpan senjata berat seperti tank, panser dan kendaraan
militer lainnya. Ketika terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949, sebagai usaha untuk
menunjukkan kepada dunia internasional bahwa RI bersama dengan TNI masih ada,
Benteng Vredeburg menjadi salah satu sasaran di antara bangunan-bangunan lain
yang dikuasai Belanda seperti kantor pos, stasiun kereta api, Hotel Toegoe,
Gedung Agung, dan tangsi Kotabaru. Kurang lebih 6 jam kota Yogyakarta dapat
dikuasai oleh TNI beserta rakyat pejuang. Baru setelah bala bantuan tentara
Belanda yang didatangkan dari Magelang tiba ke Yogyakarta, TNI dan rakyat
mundur ke luar kota dan melakukan perjuangan gerilya. Setelah Belanda
meninggalkan kota Yogyakarta, Benteng Vredeburg dikuasai oleh APRI (Angkatan
Perang Republik Indonesia). Kemudian pengelolaan benteng diserahkan kepada
Militer Akademi Yogyakarta. Pada waktu itu Ki Hadjar Dewantara pernah
mengemukakan gagasannya agar Benteng Vredeburg dimanfaatkan sebagai ajang
kebudayaan. Akan tetapi gagasan itu terhenti karena terjadi peristiwa “Tragedi
Nasional” Pemberontakan G 30 S tahun 1965. Waktu itu untuk sementara Benteng
Vredeburg digunakan sebagai tempat tahanan politik terkait dengan peristiwa G
30 S yang langsung berada di bawah pengawasan Hankam.
Rencana pelestarian bangunan Benteng Vredeburg mulai lebih
terlihat nyata setelah tahun 1976 diadakan studi kelayakan bangunan benteng
yang dilakukan oleh Lembaga Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta. Setelah diadakan penelitian maka usaha ke arah pemugaran bangunan
bekas Benteng Vredeburg pun segera dimulai.
Museum Benteng Vredeburg adalah sebuah benteng yang dibangun
tahun 1765 oleh VOC di Yogyakarta selama masa kolonial VOC. Benteng ini
dibangun oleh VOC sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan gubernur Belanda
kala itu. Benteng ini dikelilingi oleh sebuah parit yang masih bisa terlihat
sampai sekarang. Benteng berbentuk persegi ini mempunyai menara pantau di
keempat sudutnya. Di masa lalu, tentara VOC dan juga Belanda sering berpatroli
mengelilingi dindingnya. (Sumber: Wikipedia Indonesia). Pada tanggal 23
November 1992, Museum Benteng Vredeburg secara resmi menjadi salah satu Museum
Khusus Perjuangan Nasional dengan nama Museum Benteng Yogyakarta. Museum
Benteng Vredeburg ini buka pada hari Selasa – Jumat (Pukul 08.00 – 15.30 WIB)
dan Hari Sabtu – Minggu (Pukul 08.00 – 16.00 WIB, sementara pada hari Senin
tempat ini libur. Untuk dapat masuk kawasan ini, pengunjung cukup membayar
tiket sebesar Rp2.000,00. Secara keseluruhan, kalau tidak salah hitung, museum
ini memliki 4 (empat) gedung diorama mengenai peritiwa sejarah di Indonesia,
khususnya yang terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berikut gambaran
sekilas isi dari masing-masing diorama:
Bangunan ini berisikan berbagai cerita tentang sejarah
perjuangan kemerdekaan di Indonesia mulai dari era Pangeran Diponegoro, kongres
Budi Utomo di Yogyakarta, berdirinya organisasi Muhammadiyah, pemogokan kaum
buruh di pabrik gula di sekitar Yogyakarta, berdirinya Tamansiswa, Kongres
Peremuan Indonesia yang pertama, Kongres Jong Java, hingga sejarah awal mula
masuknya Jepang di Yogyakarta. Bangunan ini berisikan berbagai cerita tentang
sejarah perjuangan kemerdekaan di Indonesia pada era Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia yang dimulai dengan diorama ketika Sultan Hamengkubowono IX memimpin
rapat dalam rangka dukungan terhadap proklamasi, pengambil alihan percetakan
Harian Sinar Matahari dan diganti namanya menjadi Kedaulatan Rakyat, penurunan
bendera Hinomaru dan pengibaran bendera merah putih di Gedung Cokan Kantai
(Gedung Agung), peristiwa pengeboman balai mataram, gedung RRI dan Museum
Sonobodoyo oleh tentara sekutu, peristiwa Pertempuran Kotabaru, pelucutan
senjata tentara Jepang oleh polisi istimewa, pemuda, dan massa rakyat,
berdirinya sekolah Militer Akademi di Yogyakarta, pembentukan Tentara Keamanan
Rakyat (TKR, Kongres Pemuda di Yogyakarta, sejarah berdirinya Universitas
Gadjah Mada, hingga masa pemindahan Ibukota Negara Indonesia dari Jakarta ke
Yogyakarta.
Bangunan ini berisikan berbagai cerita tentang sejarah
Indonesia pasca kemerdekaan, mulai dari pemilihan umum pertama Indonesia yang
diselenggarakan di Yogyakarta, pertemuan Rencana Colombo tahun 1959, Seminar
Nasional Pancasila I, pencanangan Tri Komando Rakyat (Trikora) sebagai upaya
pembebasan Irian Barat, peristiwa Gerakan 30 September (G30S) PKI di
Yogyakarta, rapat kebulatan tekad penumpasan G30S PKI di Alun-alun Utara
Yogyakarta, sampai dengan momen penyamapaian amanat dari Presiden Soeharto
tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dalam rangka Dies
Natalis Universitas Gadjah Mada tahun 1974. Selain gedung diorama yang
berisikan gambaran sejarah di Indonesia, di dalam Museum Benteng Vredeburg juga
terdapat semacam mesin dengan teknologi layar sentuh yang berisikan panduan
wisata di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, lengkap dengan petunjuk jalan
dan informasi mengenai tempat kuliner serta akomodasi di Yogyakarta.
Lokasi Museum Benteng Vredeburg
- Jl. Margo Mulyo / Jl. A. Yani No.6,Kelurahan Ngupasan Kecamatan Gondomanan Kota Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Kodepos 55122 No. Tlp. (0274) 586934
Demikianlah artikel mengenai Museum Benteng Vredeburg, Ke Jogja Jangan Lupa Kesini semoga artikel ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi kita semua.[bp]
Ikuti Kami di: