Daftar Candi-Candi
Indonesia Lengkap - Kata "candi" mengacu pada berbagai macam
bentuk dan fungsi bangunan, antara lain empat beribadah, pusat pengajaran
agama, tempat menyimpan abu jenazah para raja, tempat pemujaan atau tempat
bersemayam dewa, petirtaan (pemandian) dan gapura. Walaupun fungsinya
bermacam-macam, secara umum fungsi candi tidak dapat dilepaskan dari kegiatan
keagamaan, khususnya agama Hindu dan Buddha, pada masa yang lalu. Oleh karena
itu, sejarah pembangunan candi sangat erat kaitannya dengan sejarah
kerajaan-kerajaan dan perkembangan agama Hindu dan Buddha di Indonesia, sejak
abad ke-5 sampai dengan abad ke-14. Karena sjaran Hindu dan Buddha berasal dari
negara India, maka bangunan candi banyak mendapat pengaruh India dalam berbagai
aspeknya, seperti: teknik bangunan, gaya arsitektur, hiasan, dan sebagainya.
Walaupun demikian, pengaruh kebudayaan dan kondisi alam setempat sangat kuat,
sehingga arsitektur candi Indonesia mempunyai karakter tersendiri, baik dalam
penggunaan bahan, teknik kontruksi maupun corak dekorasinya. Dinding candi
biasanya diberi hiasan berupa relief yang mengandung ajaran atau cerita
tertentu. Dalam kitab Manasara disebutkan bahwa bentuk candi merupakan
pengetahuan dasar seni bangunan gapura, yaitu bangunan yang berada pada jalan
masuk ke atau keluar dari suatu tempat, lahan, atau wilayah. Gapura sendiri
bisa berfungsi sebagai petunjuk batas wilayah atau sebagai pintu keluar masuk
yang terletak pada dinding pembatas sebuah komplek bangunan tertentu. Gapura
mempunyai fungsi penting dalam sebuah kompleks bangunan, sehingga gapura juga
nencerminkan keagungan dari bangunan yang dibatasinya. Perbedaan kedua bangunan
tersebut terletak pada ruangannya. Candi mempunyai ruangan yang tertutup,
sedangkan ruangan dalam gapura merupakan lorong yang berfungsi sebagai jalan
keluar-masuk. Beberapa kitab keagamaan di India, misalnya Manasara dan Sipa
Prakasa, memuat aturan pembuatan gapura yang dipegang teguh oleh para seniman
bangunan di India. Para seniman pada masa itu percaya bahwa ketentuan yang
tercantum dalam kitab-kitab keagamaan bersifat suci dan magis. Mereka yakin
bahwa pembuatan bangunan yang benar dan indah mempunyai arti tersendiri bagi
pembuatnya dan penguasa yang memerintahkan membangun. Bangunan yang dibuat
secara benar dan indah akan mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi
masyarakat. Keyakinan tersebut membuat para seniman yang akan membuat gapura
melakukan persiapan dan perencanaan yang matang, baik yang bersifat keagamaan
maupun teknis.
Salah satu bagian terpenting dalam perencanaan teknis adalah
pembuatan sketsa yang benar, karena dengan sketsa yang benar akan dihasilkan
bangunan seperti yang diharapkan sang seniman. Pembuatan sketsa bangunan harus
didasarkan pada aturan dan persyaratan tertentu, berkaitan dengan bentuk,
ukuran, maupun tata letaknya. Apabila dalam pembuatan bangunan terjadi
penyimpangan dari ketentuan-ketentuan dalam kitab keagamaan akan berakibat
kesengsaraan besar bagi pembuatnya dan masyarakat di sekitarnya. Hal itu
berarti bahwa ketentuan-ketentuan dalam kitab keagamaan tidak dapat diubah dengan
semaunya. Namun, suatu kebudayaan, termasuk seni bangunan, tidak dapat lepas
dari pengaruh keadaan alam dan budaya setempat, serta pengaruh waktu. Di
samping itu, setiap seniman mempunyai imajinasi dan kreatifitas yang berbeda. Sampai
saat ini candi masih banyak didapati di berbagai wilayah Indonesia, terutama di
Sumatra, Jawa, dan Bali. Walaupun sebagian besar di antaranya tinggal
reruntuhan, namun tidak sedikit yang masih utuh dan bahkan masih digunakan
untuk melaksanakan upacara keagamaan. Sebagai hasil budaya manusia, keindahan
dan keanggunan bangunan candi memberikan gambaran mengenai kebesaran kerajaan-kerajaan
pada masa lampau. Candi-candi Hindu di Indonesia umumnya dibangun oleh para
raja pada masa hidupnya. Arca dewa, seperti Dewa Wishnu, Dewa Brahma, Dewi
Tara, Dewi Durga, yang ditempatkan dalam candi banyak yang dibuat sebagai
perwujudan leluhurnya. Bahkan kadang-kadang sejarah raja yang bersangkutan
dicantumkan dalam prasasti persembahan candi tersebut. Berbeda dengan
candi-candi Hindu, candi-candi Buddha umumnya dibangun sebagai bentuk
pengabdian kepada agama dan untuk mendapatkan ganjaran. Ajaran Buddha yang
tercermin pada candi-candi di Jawa Tengah adalah Buddha Mahayana, yang masih
dianut oleh umat Buddha di Indonesia sampai saat ini. Berbeda dengan aliran
Buddha Hinayana yang dianut di Myanmar dan Thailand.
Dalam situs web ini, deskripsi mengenai candi di Indonesia
dikelompokkan ke dalam: candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta, candi di Jawa
Timur candi di Bali dan candi di Sumatra. Walaupun pada masa sekarang Jawa
Tengah dan Yogyakarta merupakan dua provinsi yang berbeda, namun dalam
sejarahnya kedua wilayah tersebut dapat dikatakan berada di bawah kekuasaan
Kerajaan Mataram Hindu, yang sangat besar peranannya dalam pembangunan candi di
kedua provinsi tersebut. Pengelompokan candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta
berdasarkan wilayah administratifnya saat ini sulit dilakukan, namun,
berdasarkan ciri-cirinya, candi-candi tersebut dapat dikelompokkan dalam
candi-candi di wilayah utara dan candi-candi di wilayah selatan. Candi-candi
yang terletak di wilayah utara, yang umumnya dibangun oleh Wangsa Sanjaya,
merupakan candi Hindu dengan bentuk bangunan yang sederhana, batur tanpa
hiasan, dan dibangun dalam kelompok namun masing-masing berdiri sendiri serta
tidak beraturan beraturan letaknya. Yang termasuk dalam kelompok ini, di
antaranya: Candi Dieng dan Candi Gedongsanga. Candi di wilayah selatan, yang
umumnya dibangun oleh Wangsa Syailendra, merupakan candi Buddha dengan bentuk
bangunan yang indah dan sarat dengan hiasan. Candi di wilayah utara ini umumnya
dibangun dalam kelompok dengan pola yang sama, yaitu candi induk yang terletak
di tengah dikelilingi oleh barisan candi perwara. Yang termasuk dalam kelompok
ini, di antaranya: Candi Prambanan, Candi Mendut, Candi Kalasan, Candi Sewu,
dan Candi Borobudur.
Candi-candi di Jawa Timur umumnya usianya lebih muda
dibandingkan yang terdapat di Jawa Tengah dan Yogyakarta, karena pembangunannya
dilakukan di bawah pemerintahan kerajaan-kerajaan penerus kerajaan Mataram
Hindu, seperti Kerajaan Kahuripan, Singasari, Kediri dan Majapahit. Bahan
dasar, gaya bangunan, corak dan isi cerita relief candi-candi di Jawa Timur
sangat beragam, tergantung pada masa pembangunannya. Misalnya, candi-candi yang
dibangun pada masa Kerajaan Singasari umumnya dibuat dari batu andesit dan
diwarnai oleh ajaran Tantrayana (Hindu-Buddha), sedangkan yang dibangun pada
masa Kerajaan Majapahit umumnya dibuat dari bata merah dan lebih diwarnai oleh
ajaran Buddha.
Candi-candi di Bali umumnya merupakan candi Hindu dan
sebagian besar masih digunakan untuk pelaksanaan upacara keagamaan hingga saat
ini. Di Pulau Sumatra terdapat 2 candi Buddha yang masih dapat ditemui, yaitu
Candi Portibi di Provinsi Sumatra Utara dan Candi Muara Takus di Provinsi Riau.
Sebagian candi di Indonesia ditemukan dan dipugar pada awal abad ke-20. Pada
tanggal 14 Juni 1913, pemerintah kolonial Belanda membentuk badan kepurbakalaan
yang dinamakan Oudheidkundige Dienst (biasa disingkat OD), sehingga penanganan
atas candi-candi di Indonesia menjadi lebih intensif. Situs web ini
direncanakan akan memuat deskripsi seluruh candi yang ada di Indonesia, namun
saat ini belum semua candi dapat terliput.
Candi di Jawa Tengah
Pada abad ke-7 sampai dengan awal abad ke-8, di Jawa Tengah
terdapat sebuah kerajaan Hindu bernama Kalingga. Pada akhir paruh pertama abad
ke-8, diperkirakan th. 732 M, Raja Sanjaya mengubah nama Kalingga menjadi
Mataram. Selanjutnya Mataram diperintah oleh keturunan Sanjaya (Wangsa
Sanjaya). Selama masa pemerintahan Raja Sanjaya, diperkirakan telah dibangun
candi-candi Syiwa di pegunungan Dieng. Pada akhir masa pemerintahan Raja
Sanjaya, datanglah Raja Syailendra yang berasal dari Kerajaan Sriwijaya (di
Palembang) yang berhasil menguasai wilayah selatan di Jawa Tengah. Kekuasaan
Mataram Hindu terdesak ke wilayah utara Jawa Tengah. Pemerintahan Raja
Syailendra yang beragama Buddha ini dilanjutkan oleh keturunannya, Wangsa
Syailendra. Dengan demikian, selama kurang lebih satu abad, yaitu tahun 750-850
M, Jawa Tengah dikuasai oleh dua pemerintahan, yaitu pemerintahan Wangsa
Sanjaya yang beragama Hindu dan Wangsa Syailendra yang menganut agama Buddha
Mahayana. Pada masa inilah sebagian besar candi di Jawa Tengah dibangun. Oleh
karena itu, candi-candi di Jawa Tengah bagian Utara pada umumnya adalah
candi-candi Hindu, sedangkan di wilayah selatan adalah candi-candi Buddha.
Kedua Wangsa yang berkuasa di Jawa Tengah tersebut akhirnya dipersatukan melalui
pernikahan Rakai Pikatan (838 - 851 M) dengan Pramodawardhani, Putra Maharaja
Samarattungga dari Wangsa Syailendra. Candi di Jawa Tengah umumnya menghadap ke
Timur, dibangun menggunakan batu andesit. Bangunan candi umumnya bertubuh
tambun dan terletak di tengah pelataran. Di antara kaki dan tubuh candi
terdapat selasar yang cukup lebar, yang berfungsi sebagai tempat melakukan
‘pradaksina’ . Di atas ambang pintu ruangan dan relung terdapat hiasan kepala
Kala (Kalamakara) tanpa rahang bawah. Bentuk atap candi di Jawa tengah umumnya
melebar dengan puncak berbentuk ratna atau stupa. Keterulangan bentuk pada atap
tampak dengan jelas. Di samping letak dan bentuk bangunannya, candi Jawa tengah
mempunyai ciri khas dalam hal reliefnya, yaitu pahatannya dalam, objek dalam
relief digambarkan secara naturalis dengan tokoh yang mengadap ke depan. Batas
antara satu adegan dengan adegan lain tidak tampak nyata dan terdapat bidang
yang dibiarkan kosong. Pohon Kalpataru yang dianggap sebagai pohon suci yang
tumbuh ke luar dari objek berbentuk bulat banyak didapati di candi-candi Jawa
tengah.
- Candi Asu Sengi
- Candi Barabudhur
- Candi Bubrah
- Candi Cetha
- Candi Dieng
- Candi Gedongsanga
- Candi Klero
- Candi Lumbung
- Candi Mendut
- Candi Ngawen
- Candi Ngempon
- Candi Pawon
- Candi Plaosan
- Candi Pringapus
- Candi Sajiwan
- Candi Selogriyo
- Candi Sewu
- Candi Sukuh
Pada awal abad ke-10 M, tepatnya tahun 929 M, pusat
pemerintahan di Jawa berpindah ke Jawa Timur. Mpu Sindok, keturunan raja-raja
Mataram Hindu, mendirikan sebuah kerajaan di Jawa Timur dengan pusat
pemerintahan di Watugaluh, yang diperkirakan lokasinya berada di daerah
Jombang. Mpu Sindok digantikan oleh putrinya, Sri Isyana Tunggawijaya, sehingga
raja-raja selanjutnya disebut sebagai Wangsa Isyana. Cucu Ratu Isyana Tunggawijaya,
Mahendratta, menikah dengan Raja Bali, Udayana, dan mempunyai putra Airlangga.
Raja-raja keturunan Airlangga inilah yang memerintahkan pembangunan sebagian
besar candi di Jawa Timur, walaupun terdapat juga candi-candi yang diperkirakan
dibangun pada masa yang lebih awal, seperti Candi Badhut di Malang. Dalam
Prasasti Dinoyo (760 M) disebutkan tentang adanya Kerajaan Kanjuruhan yang
berlokasi di Dinoyo, Malang, yang diyakini mempunyai kaitan erat dengan
pembangunan candi Hindu yang dinamakan Candi Badhut. Kecuali Candi Badhut dan
Candi Songgoriti di Batu, Malang, pembuatan bangunan batu dalam skala besar
baru muncul lagi pada masa pemerintahan Airlangga, misalnya pembangunan
Pemandian Belahan dan Candi Jalatunda di Gunung Penanggungan. Candi di Jawa
Timur mempunyai ciri yang berbeda dengan yang ada di Jawa tengah dan
Yogyakarta. Di Jawa Timur tidak didapati candi berukuran besar atau luas,
seperti Borobudur, Prambanan atau Sewu di Jawa Tengah. Satu-satunya candi yang
menempati kompleks yang agak luas adalah Candi Panataran di Blitar. Akan
tetapi, candi di Jawa Timur umumnya lebih artistik. Tatakan atau kaki candi
umumnya lebih tinggi dan berbentuk selasar bertingkat. Untuk sampai ke bangunan
utama candi, orang harus melintasi selasar-selasar bertingkat yang dihubungkan
dengan tangga. Tubuh bangunan candi di Jawa Timur umumnya ramping dengan atap
bertingkat mengecil ke atas dan puncak atap berbentuk kubus. Penggunaan makara
di sisi pintu masuk digantikan dengan patung atau ukiran naga. Perbedaan yang
mencolok juga terlihat pada reliefnya. Relief pada candi-candi Jawa Timur
dipahat dengan teknik pahatan yang dangkal (tipis) dan bergaya simbolis. Objek
digambarkan tampak samping dan tokoh yang digambarkan umumnya diambil dari
cerita wayang. Candi-candi Hindu di Jawa Timur umumnya dihiasi dengan relief
atau patung yang berkaitan dengan Trimurti, tiga dewa dalam ajaran Hindu, atau
yang berkaitan dengan Syiwa, misalnya: Durga, Ganesha, dan Agastya. Sosok dan
hiasan yang berkaitan dengan ajaran Hindu seringkali dihadirkan bersama dengan
sosok dan hiasan yang berkaitan dengan ajaran Buddha, khususnya Buddha
Tantrayana. Ciri khas lain candi-candi di Jawa Timur adalah adanya relief yang
menampilkan kisah wayang.
- Candi Badut
- Candi Bajangratu
- Candi Brahu
- Candi Gununggangsir
- Candi Jago
- Candi Jawi
- Candi Kidal
- Candi Kolam Segaran
- Candi Panataran
- Candi Plumbangan
- Candi Rimbi
- Candi Sadon
- Candi Sawentar
- Candi Songgoriti
- Candi Singasari
- Candi Surawana
- Candi Tegawangi
- Candi Tikus
- Candi Wringinlawang
Dinasti besar di Nusantara pada kurun waktu sekitar tahun
750-850 Masehi ada dua dinasti besar yang mendiami Pulau Jawa bagian tengah
yang sekarang kita kenal dengan Jawa Tengah. Wilayah ini ada dua wangsa yang
dominan memerintah silih berganti, Yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra.
Wilayah tengah Jawa bagian utara dikuasai Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu,
sedangkan wilayah tengah Jawa bagian selatan dikuasai Wangsa Syailendra yang
beragama Budha. Dua kekuatan dinasti besar tersebut telah membuat cand-candi
yang ada di kedua wilayah ini mempunyai dua corak yang sangat berbeda satu sama
lainnya. Kedua Dinasti besar ini akhirnya dipersatukan dengan sebuah pernikahan
antara Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya dan Pramodawardhani Putri dari
Maharaja Samarattungga dari Wangsa Syailendra. Pernikahan tersebut terjadi pada
sekitar tahun 838-851 Masehi. Kerajaan Mataram Hindu yang pernah berjaya di
wilayah selatan Jawa Tengah, yang saat ini menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta
memiliki banyak percandian yang bercorak Hindu dan sebagian kecil candi
bercorak Budha. Sepeninggal Raja Sana dari Dinasti Sanjaya tampuk kepemimpinan Kerajaan
Mataram dilanjutkan oleh Rakai Pikatan seorang pangeran dari Dinasti Sanjaya.
- Candi Abang
- Candi Banyuniba
- Candi Barong
- Candi Gebang
- Candi Ijo
- Candi Kalasan
- Candi Kedulan
- Candi Prambanan
- Candi Ratu Baka
- Candi Sambisari
- Candi Sari
Sejarah sebuah candi di Indonesia tidak terlepas dari
sejarah sebuah kerajaan, karena pembangunan candi pada masa lalu adalah atas
perintah seorang raja atau kepala pemerintahan yang menguasai wilayah tempat
candi tersebut berada. Berabad-abad lamanya, sejak masa penjajahan Belanda,
hampir tidak ada bangunan peninggalan kuno yang ditemukan di Jawa Barat.
Peninggalan masa lalu yang dijadikan pijakan dalam upaya menjelaskan secara runtut
sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa Barat, khususnya kerajaan Hindu dan Buddha,
selama ini berupa prasasti yang ditemukan di beberapa tempat serta kitab-kitab
kuno, seperti Pustaka Jawadwipa, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, dan
Chu-fan-chi karangan Chau Ju-kua (1178-1225) yang merupakan catatan (buku) Cina
yang memuat uraian tentang Sunda. Salah satu dari prasati tersebut adalah
Prasasti Juru Pangambat atau Prasasti Pasir Muara (458 Saka atau 536 M)
ditemukan di Pasir Muara, Bogor menerangkan tentang pengembalian pemerintahan
negara kepada Raja Sunda. Prasasti lainnya adalah Prasasti Telapak Gajah
peninggalan Raja Purnawarman yang juga ditemukan di Pasir Muara, yang memuat
gambar telapak gajah dan keterangan yang menjelaskan sepasang jejak telapak
kaki tersebut adalah milik gajah kepunyaan penguasa Tarumanagara. Prasasti
Ciaruteun ditemukan di S. Ciaruteun, sekitar 100 m dari muara S. Cirateun ke S.
Cisadane dan berjarak beberapa ratus meter dari tempat ditemukannya Prasasti
Juru Pangambat. Prasasti Ciaruteun memuat gambar jejak sepasang kaki dan
tulisan berbahasa Sansekerta dalam huruf Palawa yang menerangkan bahwa jejak
telapak kaki tersebut milik Raja Purnawarman yang menguasai Tarumanagara.
Menurut informasi yang dimuat dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, Raja
Purnawarman memerintah Tarumanegara pada tahun 395-434 M. Prasasti Kebon Kopi
(942 M) ditemukan di bekas perkebunan kopi milik Jonathan Rig di Ciampea, juga
tidak jauh dari ditemukannya Prasasti Juru Pangambat. Sebuah prasasti juga
ditemukan di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang.
Prasasti ini juga memuat gambar sepasang telapak kaki dan keterangan bahwa
telapak kaki tersebut milik Raja Purnawarman yang memerintah Taruma. Masih
banyak prasasti lain yang dapat dijadikan sumber informasi mengenai sejarah
kerajaan-kerajaan di Jawa barat, seperti Prasasti Citatih (Cibadak, 1030 M),
Prasasti Cidanghiang (Lebak) dan Prasasti Jambu (Nanggung; sebelah barat
Bogor).
- Candi Bojongmenje
- Candi Cangkuang
- Candi Cibuaya
- Candi Situs Batujaya
Berbeda dengan candi-candi di Jawa, candi, atau yang di Bali
disebut pura, merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Bali yang mayoritas
beragama Hindu. Pura di Bali merupakan tempat pemujaan umat Hindu. Setiap
keluarga Hindu memiliki pura keluarga untuk memuja Hyang Widhi dan leluhur
keluarga, sehingga pura di Pulau Bali jumlahnya mencapai ribuan. Pura Kahyangan
Desa. Setiap desa umumnya memiliki tiga pura utama yang disebut Pura Tiga
Kahyangan atau Pura Tri Kahyangan (tri = tiga), yaitu pura-pura tempat pemujaan
Sang Hyang Widi Wasa dalam tiga perwujudan kekuasaan-Nya: Pura Desa untuk
memuja Dewa Brahma (Sang Pencipta), Pura Puseh untuk memuja Dewa Wisnu (Sang
Pemelihara), dan Pura Dalem untuk memuja Dewa Syiwa (Sang Pemusnah). Pura Desa
disebut juga Bale Agung, karena pura yang umumnya terletak di pusat desa ini
juga digunakan sebagai tempat melaksanakan musyawarah desa. Pura Kahyangan
Jagat. Pura Kahyangan merupakan tempat masyarakat umum memuja Ida Sang Hyang
Widi Wasa dalam berbagai perwujudan-Nya dan juga tempat memuja roh para
leluhur. Yang termasuk dalam kaetgori Pura Kahyangan Jagat, di antaranya, ialah
Pura Sad Kahyangan (sad = enam), yaitu pura yang berada di enam lokasi
Kahyangan besar di P. Bali. Pura Sad Khayangan terdiri atas: Pura Luhur
Uluwatu, Pura Lempuyang, Pura Goa Lawah, Pura Watukaru, Pura Bukit Pengalengan
dan Pura Besakih. Pura Sad Kahyangan diyakini sebagai sendi spiritual Pulau
Bali dan merupakan pusat kegiatan keagamaan.
- Pura Taman Ayun
- Pura Tanah Lot
- Pura Uluwatu
Candi di Pulau Sumatra tidak sebanyak yang terdapat di Pulau
Jawa. Kebanyakan candi di Sumatra terletak di lokasi yang cukup jauh dari kota,
sehingga tidak banyak wisatawan yang berkunjung ke sana. Sebagian besar candi
di Sumatra, yang telah diketahui keberadaannya, berada di provinsi Sumatra
Utara, khususnya di Kabupaten Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan. Sangat
sedikit informasi yang diketahui tentang keberadaan candi-candi tersebut. Di
samping itu, umumnya lokasi candi cukup jauh dari kota, sehingga tidak banyak
orang yang mengetahui keberadaannya atau berkunjung ke sana. Di Simangambat
dekat Siabu, Sumatra Utara, misalnya, terdapat reruntuhan candi Syiwa. Diduga
candi tersebut dibangun pada abad ke-8. Untuk mengetahui lebih banyak mengenai
reruntuhan candi ini masih perlu dilakukan penelitian dan penggalian. Kawasan
lain di Sumatra Utara yang dikenal mempunyai banyak candi ialah kawasan Padang
Lawas, yang mencakup Kecamatan Sipirok, Sibuhuan, Sosopan, Sosa, dan Padang
Bolak. Di kawasan ini terdapat belasan reruntuhan candi Hindu yang kesemuanya
terletak tidak jauh dari sungai. Sebagian besar terdapat di Kecamatan Padang
Bolak. Tidak banyak yang diketahui tentang reruntuhan candi tersebut. Diduga
candi-candi tersebut dibangun pada masa pemerintahan Kerajaan Panei pada abad
ke-11 M.
- Candi Bahal
- Candi Muara Takus
- Candi Agung , Amuntai Tengah, Hulu Sungai Utara. Candi Hindu.
- Candi Laras
- Candi Laras Selatan, Tapin. Candi Buddha.
- Situs Pematang Bata , Candi Laras Selatan, Tapin
- Lasung Batu atau Yoni, Desa Cantung Kiri Hilir, Kelumpang Hulu, Kotabaru.[]
Ikuti Kami di: