Daftar Candi-Candi Indonesia Lengkap

Daftar Candi-Candi Indonesia Lengkap - Kata "candi" mengacu pada berbagai macam bentuk dan fungsi bangunan, antara lain empat beribadah, pusat pengajaran agama, tempat menyimpan abu jenazah para raja, tempat pemujaan atau tempat bersemayam dewa, petirtaan (pemandian) dan gapura. Walaupun fungsinya bermacam-macam, secara umum fungsi candi tidak dapat dilepaskan dari kegiatan keagamaan, khususnya agama Hindu dan Buddha, pada masa yang lalu. Oleh karena itu, sejarah pembangunan candi sangat erat kaitannya dengan sejarah kerajaan-kerajaan dan perkembangan agama Hindu dan Buddha di Indonesia, sejak abad ke-5 sampai dengan abad ke-14. Karena sjaran Hindu dan Buddha berasal dari negara India, maka bangunan candi banyak mendapat pengaruh India dalam berbagai aspeknya, seperti: teknik bangunan, gaya arsitektur, hiasan, dan sebagainya. Walaupun demikian, pengaruh kebudayaan dan kondisi alam setempat sangat kuat, sehingga arsitektur candi Indonesia mempunyai karakter tersendiri, baik dalam penggunaan bahan, teknik kontruksi maupun corak dekorasinya. Dinding candi biasanya diberi hiasan berupa relief yang mengandung ajaran atau cerita tertentu. Dalam kitab Manasara disebutkan bahwa bentuk candi merupakan pengetahuan dasar seni bangunan gapura, yaitu bangunan yang berada pada jalan masuk ke atau keluar dari suatu tempat, lahan, atau wilayah. Gapura sendiri bisa berfungsi sebagai petunjuk batas wilayah atau sebagai pintu keluar masuk yang terletak pada dinding pembatas sebuah komplek bangunan tertentu. Gapura mempunyai fungsi penting dalam sebuah kompleks bangunan, sehingga gapura juga nencerminkan keagungan dari bangunan yang dibatasinya. Perbedaan kedua bangunan tersebut terletak pada ruangannya. Candi mempunyai ruangan yang tertutup, sedangkan ruangan dalam gapura merupakan lorong yang berfungsi sebagai jalan keluar-masuk. Beberapa kitab keagamaan di India, misalnya Manasara dan Sipa Prakasa, memuat aturan pembuatan gapura yang dipegang teguh oleh para seniman bangunan di India. Para seniman pada masa itu percaya bahwa ketentuan yang tercantum dalam kitab-kitab keagamaan bersifat suci dan magis. Mereka yakin bahwa pembuatan bangunan yang benar dan indah mempunyai arti tersendiri bagi pembuatnya dan penguasa yang memerintahkan membangun. Bangunan yang dibuat secara benar dan indah akan mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat. Keyakinan tersebut membuat para seniman yang akan membuat gapura melakukan persiapan dan perencanaan yang matang, baik yang bersifat keagamaan maupun teknis.

Salah satu bagian terpenting dalam perencanaan teknis adalah pembuatan sketsa yang benar, karena dengan sketsa yang benar akan dihasilkan bangunan seperti yang diharapkan sang seniman. Pembuatan sketsa bangunan harus didasarkan pada aturan dan persyaratan tertentu, berkaitan dengan bentuk, ukuran, maupun tata letaknya. Apabila dalam pembuatan bangunan terjadi penyimpangan dari ketentuan-ketentuan dalam kitab keagamaan akan berakibat kesengsaraan besar bagi pembuatnya dan masyarakat di sekitarnya. Hal itu berarti bahwa ketentuan-ketentuan dalam kitab keagamaan tidak dapat diubah dengan semaunya. Namun, suatu kebudayaan, termasuk seni bangunan, tidak dapat lepas dari pengaruh keadaan alam dan budaya setempat, serta pengaruh waktu. Di samping itu, setiap seniman mempunyai imajinasi dan kreatifitas yang berbeda. Sampai saat ini candi masih banyak didapati di berbagai wilayah Indonesia, terutama di Sumatra, Jawa, dan Bali. Walaupun sebagian besar di antaranya tinggal reruntuhan, namun tidak sedikit yang masih utuh dan bahkan masih digunakan untuk melaksanakan upacara keagamaan. Sebagai hasil budaya manusia, keindahan dan keanggunan bangunan candi memberikan gambaran mengenai kebesaran kerajaan-kerajaan pada masa lampau. Candi-candi Hindu di Indonesia umumnya dibangun oleh para raja pada masa hidupnya. Arca dewa, seperti Dewa Wishnu, Dewa Brahma, Dewi Tara, Dewi Durga, yang ditempatkan dalam candi banyak yang dibuat sebagai perwujudan leluhurnya. Bahkan kadang-kadang sejarah raja yang bersangkutan dicantumkan dalam prasasti persembahan candi tersebut. Berbeda dengan candi-candi Hindu, candi-candi Buddha umumnya dibangun sebagai bentuk pengabdian kepada agama dan untuk mendapatkan ganjaran. Ajaran Buddha yang tercermin pada candi-candi di Jawa Tengah adalah Buddha Mahayana, yang masih dianut oleh umat Buddha di Indonesia sampai saat ini. Berbeda dengan aliran Buddha Hinayana yang dianut di Myanmar dan Thailand.
Dalam situs web ini, deskripsi mengenai candi di Indonesia dikelompokkan ke dalam: candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta, candi di Jawa Timur candi di Bali dan candi di Sumatra. Walaupun pada masa sekarang Jawa Tengah dan Yogyakarta merupakan dua provinsi yang berbeda, namun dalam sejarahnya kedua wilayah tersebut dapat dikatakan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram Hindu, yang sangat besar peranannya dalam pembangunan candi di kedua provinsi tersebut. Pengelompokan candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta berdasarkan wilayah administratifnya saat ini sulit dilakukan, namun, berdasarkan ciri-cirinya, candi-candi tersebut dapat dikelompokkan dalam candi-candi di wilayah utara dan candi-candi di wilayah selatan. Candi-candi yang terletak di wilayah utara, yang umumnya dibangun oleh Wangsa Sanjaya, merupakan candi Hindu dengan bentuk bangunan yang sederhana, batur tanpa hiasan, dan dibangun dalam kelompok namun masing-masing berdiri sendiri serta tidak beraturan beraturan letaknya. Yang termasuk dalam kelompok ini, di antaranya: Candi Dieng dan Candi Gedongsanga. Candi di wilayah selatan, yang umumnya dibangun oleh Wangsa Syailendra, merupakan candi Buddha dengan bentuk bangunan yang indah dan sarat dengan hiasan. Candi di wilayah utara ini umumnya dibangun dalam kelompok dengan pola yang sama, yaitu candi induk yang terletak di tengah dikelilingi oleh barisan candi perwara. Yang termasuk dalam kelompok ini, di antaranya: Candi Prambanan, Candi Mendut, Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Candi Borobudur.
Candi-candi di Jawa Timur umumnya usianya lebih muda dibandingkan yang terdapat di Jawa Tengah dan Yogyakarta, karena pembangunannya dilakukan di bawah pemerintahan kerajaan-kerajaan penerus kerajaan Mataram Hindu, seperti Kerajaan Kahuripan, Singasari, Kediri dan Majapahit. Bahan dasar, gaya bangunan, corak dan isi cerita relief candi-candi di Jawa Timur sangat beragam, tergantung pada masa pembangunannya. Misalnya, candi-candi yang dibangun pada masa Kerajaan Singasari umumnya dibuat dari batu andesit dan diwarnai oleh ajaran Tantrayana (Hindu-Buddha), sedangkan yang dibangun pada masa Kerajaan Majapahit umumnya dibuat dari bata merah dan lebih diwarnai oleh ajaran Buddha.
Candi-candi di Bali umumnya merupakan candi Hindu dan sebagian besar masih digunakan untuk pelaksanaan upacara keagamaan hingga saat ini. Di Pulau Sumatra terdapat 2 candi Buddha yang masih dapat ditemui, yaitu Candi Portibi di Provinsi Sumatra Utara dan Candi Muara Takus di Provinsi Riau. Sebagian candi di Indonesia ditemukan dan dipugar pada awal abad ke-20. Pada tanggal 14 Juni 1913, pemerintah kolonial Belanda membentuk badan kepurbakalaan yang dinamakan Oudheidkundige Dienst (biasa disingkat OD), sehingga penanganan atas candi-candi di Indonesia menjadi lebih intensif. Situs web ini direncanakan akan memuat deskripsi seluruh candi yang ada di Indonesia, namun saat ini belum semua candi dapat terliput.

Candi di Jawa Tengah
Pada abad ke-7 sampai dengan awal abad ke-8, di Jawa Tengah terdapat sebuah kerajaan Hindu bernama Kalingga. Pada akhir paruh pertama abad ke-8, diperkirakan th. 732 M, Raja Sanjaya mengubah nama Kalingga menjadi Mataram. Selanjutnya Mataram diperintah oleh keturunan Sanjaya (Wangsa Sanjaya). Selama masa pemerintahan Raja Sanjaya, diperkirakan telah dibangun candi-candi Syiwa di pegunungan Dieng. Pada akhir masa pemerintahan Raja Sanjaya, datanglah Raja Syailendra yang berasal dari Kerajaan Sriwijaya (di Palembang) yang berhasil menguasai wilayah selatan di Jawa Tengah. Kekuasaan Mataram Hindu terdesak ke wilayah utara Jawa Tengah. Pemerintahan Raja Syailendra yang beragama Buddha ini dilanjutkan oleh keturunannya, Wangsa Syailendra. Dengan demikian, selama kurang lebih satu abad, yaitu tahun 750-850 M, Jawa Tengah dikuasai oleh dua pemerintahan, yaitu pemerintahan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu dan Wangsa Syailendra yang menganut agama Buddha Mahayana. Pada masa inilah sebagian besar candi di Jawa Tengah dibangun. Oleh karena itu, candi-candi di Jawa Tengah bagian Utara pada umumnya adalah candi-candi Hindu, sedangkan di wilayah selatan adalah candi-candi Buddha. Kedua Wangsa yang berkuasa di Jawa Tengah tersebut akhirnya dipersatukan melalui pernikahan Rakai Pikatan (838 - 851 M) dengan Pramodawardhani, Putra Maharaja Samarattungga dari Wangsa Syailendra. Candi di Jawa Tengah umumnya menghadap ke Timur, dibangun menggunakan batu andesit. Bangunan candi umumnya bertubuh tambun dan terletak di tengah pelataran. Di antara kaki dan tubuh candi terdapat selasar yang cukup lebar, yang berfungsi sebagai tempat melakukan ‘pradaksina’ . Di atas ambang pintu ruangan dan relung terdapat hiasan kepala Kala (Kalamakara) tanpa rahang bawah. Bentuk atap candi di Jawa tengah umumnya melebar dengan puncak berbentuk ratna atau stupa. Keterulangan bentuk pada atap tampak dengan jelas. Di samping letak dan bentuk bangunannya, candi Jawa tengah mempunyai ciri khas dalam hal reliefnya, yaitu pahatannya dalam, objek dalam relief digambarkan secara naturalis dengan tokoh yang mengadap ke depan. Batas antara satu adegan dengan adegan lain tidak tampak nyata dan terdapat bidang yang dibiarkan kosong. Pohon Kalpataru yang dianggap sebagai pohon suci yang tumbuh ke luar dari objek berbentuk bulat banyak didapati di candi-candi Jawa tengah.
  1. Candi Asu Sengi
  2. Candi Barabudhur
  3. Candi Bubrah
  4. Candi Cetha
  5. Candi Dieng
  6. Candi Gedongsanga
  7. Candi Klero
  8. Candi Lumbung
  9. Candi Mendut
  10. Candi Ngawen
  11. Candi Ngempon
  12. Candi Pawon
  13. Candi Plaosan
  14. Candi Pringapus
  15. Candi Sajiwan
  16. Candi Selogriyo
  17. Candi Sewu
  18. Candi Sukuh

Candi di Jawa Timur
Pada awal abad ke-10 M, tepatnya tahun 929 M, pusat pemerintahan di Jawa berpindah ke Jawa Timur. Mpu Sindok, keturunan raja-raja Mataram Hindu, mendirikan sebuah kerajaan di Jawa Timur dengan pusat pemerintahan di Watugaluh, yang diperkirakan lokasinya berada di daerah Jombang. Mpu Sindok digantikan oleh putrinya, Sri Isyana Tunggawijaya, sehingga raja-raja selanjutnya disebut sebagai Wangsa Isyana. Cucu Ratu Isyana Tunggawijaya, Mahendratta, menikah dengan Raja Bali, Udayana, dan mempunyai putra Airlangga. Raja-raja keturunan Airlangga inilah yang memerintahkan pembangunan sebagian besar candi di Jawa Timur, walaupun terdapat juga candi-candi yang diperkirakan dibangun pada masa yang lebih awal, seperti Candi Badhut di Malang. Dalam Prasasti Dinoyo (760 M) disebutkan tentang adanya Kerajaan Kanjuruhan yang berlokasi di Dinoyo, Malang, yang diyakini mempunyai kaitan erat dengan pembangunan candi Hindu yang dinamakan Candi Badhut. Kecuali Candi Badhut dan Candi Songgoriti di Batu, Malang, pembuatan bangunan batu dalam skala besar baru muncul lagi pada masa pemerintahan Airlangga, misalnya pembangunan Pemandian Belahan dan Candi Jalatunda di Gunung Penanggungan. Candi di Jawa Timur mempunyai ciri yang berbeda dengan yang ada di Jawa tengah dan Yogyakarta. Di Jawa Timur tidak didapati candi berukuran besar atau luas, seperti Borobudur, Prambanan atau Sewu di Jawa Tengah. Satu-satunya candi yang menempati kompleks yang agak luas adalah Candi Panataran di Blitar. Akan tetapi, candi di Jawa Timur umumnya lebih artistik. Tatakan atau kaki candi umumnya lebih tinggi dan berbentuk selasar bertingkat. Untuk sampai ke bangunan utama candi, orang harus melintasi selasar-selasar bertingkat yang dihubungkan dengan tangga. Tubuh bangunan candi di Jawa Timur umumnya ramping dengan atap bertingkat mengecil ke atas dan puncak atap berbentuk kubus. Penggunaan makara di sisi pintu masuk digantikan dengan patung atau ukiran naga. Perbedaan yang mencolok juga terlihat pada reliefnya. Relief pada candi-candi Jawa Timur dipahat dengan teknik pahatan yang dangkal (tipis) dan bergaya simbolis. Objek digambarkan tampak samping dan tokoh yang digambarkan umumnya diambil dari cerita wayang. Candi-candi Hindu di Jawa Timur umumnya dihiasi dengan relief atau patung yang berkaitan dengan Trimurti, tiga dewa dalam ajaran Hindu, atau yang berkaitan dengan Syiwa, misalnya: Durga, Ganesha, dan Agastya. Sosok dan hiasan yang berkaitan dengan ajaran Hindu seringkali dihadirkan bersama dengan sosok dan hiasan yang berkaitan dengan ajaran Buddha, khususnya Buddha Tantrayana. Ciri khas lain candi-candi di Jawa Timur adalah adanya relief yang menampilkan kisah wayang.
  1. Candi Badut
  2. Candi Bajangratu
  3. Candi Brahu
  4. Candi Gununggangsir
  5. Candi Jago
  6. Candi Jawi
  7. Candi Kidal
  8. Candi Kolam Segaran
  9. Candi Panataran
  10. Candi Plumbangan
  11. Candi Rimbi
  12. Candi Sadon
  13. Candi Sawentar
  14. Candi Songgoriti
  15. Candi Singasari
  16. Candi Surawana
  17. Candi Tegawangi
  18. Candi Tikus
  19. Candi Wringinlawang

Candi di Yogyakarta
Dinasti besar di Nusantara pada kurun waktu sekitar tahun 750-850 Masehi ada dua dinasti besar yang mendiami Pulau Jawa bagian tengah yang sekarang kita kenal dengan Jawa Tengah. Wilayah ini ada dua wangsa yang dominan memerintah silih berganti, Yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra. Wilayah tengah Jawa bagian utara dikuasai Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu, sedangkan wilayah tengah Jawa bagian selatan dikuasai Wangsa Syailendra yang beragama Budha. Dua kekuatan dinasti besar tersebut telah membuat cand-candi yang ada di kedua wilayah ini mempunyai dua corak yang sangat berbeda satu sama lainnya. Kedua Dinasti besar ini akhirnya dipersatukan dengan sebuah pernikahan antara Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya dan Pramodawardhani Putri dari Maharaja Samarattungga dari Wangsa Syailendra. Pernikahan tersebut terjadi pada sekitar tahun 838-851 Masehi. Kerajaan Mataram Hindu yang pernah berjaya di wilayah selatan Jawa Tengah, yang saat ini menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki banyak percandian yang bercorak Hindu dan sebagian kecil candi bercorak Budha. Sepeninggal Raja Sana dari Dinasti Sanjaya tampuk kepemimpinan Kerajaan Mataram dilanjutkan oleh Rakai Pikatan seorang pangeran dari Dinasti Sanjaya.
  1. Candi Abang
  2. Candi Banyuniba
  3. Candi Barong
  4. Candi Gebang
  5. Candi Ijo
  6. Candi Kalasan
  7. Candi Kedulan
  8. Candi Prambanan
  9. Candi Ratu Baka
  10. Candi Sambisari
  11. Candi Sari

Candi di Jawa Barat
Sejarah sebuah candi di Indonesia tidak terlepas dari sejarah sebuah kerajaan, karena pembangunan candi pada masa lalu adalah atas perintah seorang raja atau kepala pemerintahan yang menguasai wilayah tempat candi tersebut berada. Berabad-abad lamanya, sejak masa penjajahan Belanda, hampir tidak ada bangunan peninggalan kuno yang ditemukan di Jawa Barat. Peninggalan masa lalu yang dijadikan pijakan dalam upaya menjelaskan secara runtut sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa Barat, khususnya kerajaan Hindu dan Buddha, selama ini berupa prasasti yang ditemukan di beberapa tempat serta kitab-kitab kuno, seperti Pustaka Jawadwipa, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, dan Chu-fan-chi karangan Chau Ju-kua (1178-1225) yang merupakan catatan (buku) Cina yang memuat uraian tentang Sunda. Salah satu dari prasati tersebut adalah Prasasti Juru Pangambat atau Prasasti Pasir Muara (458 Saka atau 536 M) ditemukan di Pasir Muara, Bogor menerangkan tentang pengembalian pemerintahan negara kepada Raja Sunda. Prasasti lainnya adalah Prasasti Telapak Gajah peninggalan Raja Purnawarman yang juga ditemukan di Pasir Muara, yang memuat gambar telapak gajah dan keterangan yang menjelaskan sepasang jejak telapak kaki tersebut adalah milik gajah kepunyaan penguasa Tarumanagara. Prasasti Ciaruteun ditemukan di S. Ciaruteun, sekitar 100 m dari muara S. Cirateun ke S. Cisadane dan berjarak beberapa ratus meter dari tempat ditemukannya Prasasti Juru Pangambat. Prasasti Ciaruteun memuat gambar jejak sepasang kaki dan tulisan berbahasa Sansekerta dalam huruf Palawa yang menerangkan bahwa jejak telapak kaki tersebut milik Raja Purnawarman yang menguasai Tarumanagara. Menurut informasi yang dimuat dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, Raja Purnawarman memerintah Tarumanegara pada tahun 395-434 M. Prasasti Kebon Kopi (942 M) ditemukan di bekas perkebunan kopi milik Jonathan Rig di Ciampea, juga tidak jauh dari ditemukannya Prasasti Juru Pangambat. Sebuah prasasti juga ditemukan di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Prasasti ini juga memuat gambar sepasang telapak kaki dan keterangan bahwa telapak kaki tersebut milik Raja Purnawarman yang memerintah Taruma. Masih banyak prasasti lain yang dapat dijadikan sumber informasi mengenai sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa barat, seperti Prasasti Citatih (Cibadak, 1030 M), Prasasti Cidanghiang (Lebak) dan Prasasti Jambu (Nanggung; sebelah barat Bogor).
  1. Candi Bojongmenje
  2. Candi Cangkuang
  3. Candi Cibuaya
  4. Candi Situs Batujaya

Candi di Bali
Berbeda dengan candi-candi di Jawa, candi, atau yang di Bali disebut pura, merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu. Pura di Bali merupakan tempat pemujaan umat Hindu. Setiap keluarga Hindu memiliki pura keluarga untuk memuja Hyang Widhi dan leluhur keluarga, sehingga pura di Pulau Bali jumlahnya mencapai ribuan. Pura Kahyangan Desa. Setiap desa umumnya memiliki tiga pura utama yang disebut Pura Tiga Kahyangan atau Pura Tri Kahyangan (tri = tiga), yaitu pura-pura tempat pemujaan Sang Hyang Widi Wasa dalam tiga perwujudan kekuasaan-Nya: Pura Desa untuk memuja Dewa Brahma (Sang Pencipta), Pura Puseh untuk memuja Dewa Wisnu (Sang Pemelihara), dan Pura Dalem untuk memuja Dewa Syiwa (Sang Pemusnah). Pura Desa disebut juga Bale Agung, karena pura yang umumnya terletak di pusat desa ini juga digunakan sebagai tempat melaksanakan musyawarah desa. Pura Kahyangan Jagat. Pura Kahyangan merupakan tempat masyarakat umum memuja Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam berbagai perwujudan-Nya dan juga tempat memuja roh para leluhur. Yang termasuk dalam kaetgori Pura Kahyangan Jagat, di antaranya, ialah Pura Sad Kahyangan (sad = enam), yaitu pura yang berada di enam lokasi Kahyangan besar di P. Bali. Pura Sad Khayangan terdiri atas: Pura Luhur Uluwatu, Pura Lempuyang, Pura Goa Lawah, Pura Watukaru, Pura Bukit Pengalengan dan Pura Besakih. Pura Sad Kahyangan diyakini sebagai sendi spiritual Pulau Bali dan merupakan pusat kegiatan keagamaan.
  1. Pura Taman Ayun
  2. Pura Tanah Lot
  3. Pura Uluwatu

Candi di Sumatra
Candi di Pulau Sumatra tidak sebanyak yang terdapat di Pulau Jawa. Kebanyakan candi di Sumatra terletak di lokasi yang cukup jauh dari kota, sehingga tidak banyak wisatawan yang berkunjung ke sana. Sebagian besar candi di Sumatra, yang telah diketahui keberadaannya, berada di provinsi Sumatra Utara, khususnya di Kabupaten Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan. Sangat sedikit informasi yang diketahui tentang keberadaan candi-candi tersebut. Di samping itu, umumnya lokasi candi cukup jauh dari kota, sehingga tidak banyak orang yang mengetahui keberadaannya atau berkunjung ke sana. Di Simangambat dekat Siabu, Sumatra Utara, misalnya, terdapat reruntuhan candi Syiwa. Diduga candi tersebut dibangun pada abad ke-8. Untuk mengetahui lebih banyak mengenai reruntuhan candi ini masih perlu dilakukan penelitian dan penggalian. Kawasan lain di Sumatra Utara yang dikenal mempunyai banyak candi ialah kawasan Padang Lawas, yang mencakup Kecamatan Sipirok, Sibuhuan, Sosopan, Sosa, dan Padang Bolak. Di kawasan ini terdapat belasan reruntuhan candi Hindu yang kesemuanya terletak tidak jauh dari sungai. Sebagian besar terdapat di Kecamatan Padang Bolak. Tidak banyak yang diketahui tentang reruntuhan candi tersebut. Diduga candi-candi tersebut dibangun pada masa pemerintahan Kerajaan Panei pada abad ke-11 M.
  1. Candi Bahal
  2. Candi Muara Takus

Candi di Kalimantan
  1. Candi Agung , Amuntai Tengah, Hulu Sungai Utara. Candi Hindu.
  2. Candi Laras
  3. Candi Laras Selatan, Tapin. Candi Buddha.
  4. Situs Pematang Bata , Candi Laras Selatan, Tapin
  5. Lasung Batu atau Yoni, Desa Cantung Kiri Hilir, Kelumpang Hulu, Kotabaru.[]